Jumat, 26 Juni 2015

kematian tuhan di dalam ramadhan

Ramadhan di Dunia Nietzsche
Islam kini bangkit dengan identitasnya yang mencerminkan gaya klasik tahun 90-an, generasi sarungan seakan memenuhi seantero nusantara ini, suara lantunan al-quran yang muncul dari menara-menara masjid, gema shalawat yang menggetarkan gendang telinga, penampakan para dai dadakan yang membangkitkan semangat ibadah para umat muslim. Seakan menggambarkan peristiwa renaisans bangsa eropa yang telah di ninabobokkan oleh lantunan “Khaleluyah” yang menggema di kubah-kubah gereja.

Tahun hijriyah  muncul dengan membawa bulan yang penuh dengan keserakahan,  kerakusan, berita berupa pelipatgandaan pahala amal baik dan terhapusnya dosa-dosa, terbukanya pintu surga, kebebasan setan terbelenggu oleh rantai yang melilitnya, Dan yang lebih menjanjikan adalah hadirnya suatu malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Seakan–akan bulan ramadhan itu penuh dengan kesejahteraan, berbagai balasan yang menjanjikan ibarat menghipnotis para umat islam yang balala akan pahala. Gambaran  betapa buruknya bulan-bulan yang lain, tida terdapat kebaikan didalamnya. Padahal semuanya berasal dari yang Satu, meskipun esensi esensinya berbeda, namun perbedaan itu merupakan modus dari sebuah  penyatuan eksistensi.

Ramadhan bulan yang penuh dengan keberkahan, namun nyatanya ramadhan adalah bulan yang absurd. Mereka hanya memanfaatkan ramadhan sebagai lahan bisnis yang menguntungkan di satu sisi, disisi lain sebagai sarana untuk membangkitkan kesenangan fisikal semata. Menunjukkan bahwa ramadhan merupakan bulan penantian untuk berfoya-foya. Pada saat yang sama islam muncul dengan aktivitas musiman demi satu tujuan yakni pahala yang menggiurkan, fenomena ini menunjukkan bahwa manusia hanya mencintai pahala menafikan eksistensi Tuhan yang merupakan sumber segala pahala. Karena menurut sebagian mereka  pahala membawa kepada kesenangan surgawi, dimana kesenangan tersebut kekal abadi, bahkan bidadari-bidadari akan memberikan kenikmatan atas dahaga kemanusiaan. Sebuah gambaran betapa indahnya surga yang menafikan eksistensi Sang Maha Indah.

Mungkinkah Tuhan hadir didalam ramadhan atau mungkin tuhan telah terbunuh oleh ramadhan itu sendiri. Fenomena yang menunjukkan bahwa dunia ini telah tergantikan oleh dunia yang telah dirintis sang filosof ayahanda Nietzsche. Bagaimanapun ramadhan hanya menampakkan aksidental dari kehidupan dunia ini, namun manusia mengingkari esensi yang tersirat di dalamnya. Mereka hanya memandang ramadhan dengan pandangan sebagai identitas makhluk, mereka mengingkari identitas haqq  yang merupakan limitas dari  Al-haq. Konsekuensi dari perbuatan itu akan menafikan seluruh hakikat yang ada, begitupun sebaliknya apabila hanya melihat dengan identitas haqq maka akan mengingkari pluralitas dunia ini, pada dasarnya keduanya merupakan Haqq yang terlimitasi. Oleh karena itu filsafat yang didasari wahyu merupakan solusi demi memadukan keduanya. Karena filsafat membahas segala yang ada dan yang mungkin ada, termasuk manusia. Sehingga lahir manusia yang mampu menempatkan  keduanya pada posisinya masing-masing, baik  identitas haqqnya maupun identitas makhluk yang majemuk.

“manusia adalah makhluk yang menutupi kamu dirimu, dirimu adalah makhluk yang menutupi kamu dari Tuhanmu, selagi kamu memperhatikan makhluk maka kamu tidak akan mengetahui siapa tuhanmu.”
Gambaran betapa dunia ini merupakan suatu kerajaan tanda tanya yang menjadikan kebenaran sebagai tawanannya yang mesti dilawan dengan senjata filsafat. Karena dengan kebenaran, kebahagian akan tercapai didalam penyatuan bersama Tuhan dalam lingkaran “Khawwaasul khawwas”.  Sebuah penyatuan yang akan menenggelamkan segala keindahan duniawi termasuk ramadhan yang katanya penuh dengan berkah.. Beeedeng…
Manusia akan menyadari semuanya ketika konsep “Wahdatul Wujud” direalisasikan dalam kehidupa, dan keindahan  ramadhan yang sebenarnya akan menyatu didalam jiwa “nathiq”.




Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon