Ramadhan
di Dunia Nietzsche
Islam kini bangkit dengan identitasnya yang
mencerminkan gaya klasik tahun 90-an, generasi sarungan seakan memenuhi seantero
nusantara ini, suara lantunan al-quran yang muncul dari menara-menara masjid,
gema shalawat yang menggetarkan gendang telinga, penampakan para dai dadakan
yang membangkitkan semangat ibadah para umat muslim. Seakan menggambarkan
peristiwa renaisans bangsa eropa yang telah di ninabobokkan oleh lantunan “Khaleluyah”
yang menggema di kubah-kubah gereja.
Tahun hijriyah muncul dengan membawa bulan yang penuh dengan
keserakahan, kerakusan, berita berupa
pelipatgandaan pahala amal baik dan terhapusnya dosa-dosa, terbukanya pintu
surga, kebebasan setan terbelenggu oleh rantai yang melilitnya, Dan yang lebih menjanjikan
adalah hadirnya suatu malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Seakan–akan
bulan ramadhan itu penuh dengan kesejahteraan, berbagai balasan yang menjanjikan
ibarat menghipnotis para umat islam yang balala akan pahala. Gambaran betapa buruknya bulan-bulan yang lain, tida
terdapat kebaikan didalamnya. Padahal semuanya berasal dari yang Satu, meskipun
esensi esensinya berbeda, namun perbedaan itu merupakan modus dari sebuah penyatuan eksistensi.
Ramadhan bulan yang penuh dengan keberkahan, namun
nyatanya ramadhan adalah bulan yang absurd. Mereka hanya memanfaatkan ramadhan
sebagai lahan bisnis yang menguntungkan di satu sisi, disisi lain sebagai
sarana untuk membangkitkan kesenangan fisikal semata. Menunjukkan bahwa
ramadhan merupakan bulan penantian untuk berfoya-foya. Pada saat yang sama
islam muncul dengan aktivitas musiman demi satu tujuan yakni pahala yang
menggiurkan, fenomena ini menunjukkan bahwa manusia hanya mencintai pahala
menafikan eksistensi Tuhan yang merupakan sumber segala pahala. Karena menurut
sebagian mereka pahala membawa kepada
kesenangan surgawi, dimana kesenangan tersebut kekal abadi, bahkan
bidadari-bidadari akan memberikan kenikmatan atas dahaga kemanusiaan. Sebuah
gambaran betapa indahnya surga yang menafikan eksistensi Sang Maha Indah.
Mungkinkah Tuhan hadir didalam ramadhan atau mungkin
tuhan telah terbunuh oleh ramadhan itu sendiri. Fenomena yang menunjukkan bahwa
dunia ini telah tergantikan oleh dunia yang telah dirintis sang filosof
ayahanda Nietzsche. Bagaimanapun ramadhan hanya menampakkan aksidental dari
kehidupan dunia ini, namun manusia mengingkari esensi yang tersirat di
dalamnya. Mereka hanya memandang ramadhan dengan pandangan sebagai identitas
makhluk, mereka mengingkari identitas haqq yang merupakan limitas dari Al-haq. Konsekuensi dari perbuatan itu akan
menafikan seluruh hakikat yang ada, begitupun sebaliknya apabila hanya melihat
dengan identitas haqq maka akan mengingkari pluralitas dunia ini, pada dasarnya
keduanya merupakan Haqq yang terlimitasi. Oleh karena itu filsafat yang
didasari wahyu merupakan solusi demi memadukan keduanya. Karena filsafat
membahas segala yang ada dan yang mungkin ada, termasuk manusia. Sehingga lahir
manusia yang mampu menempatkan keduanya
pada posisinya masing-masing, baik
identitas haqqnya maupun identitas makhluk yang majemuk.
“manusia
adalah makhluk yang menutupi kamu dirimu, dirimu adalah makhluk yang menutupi
kamu dari Tuhanmu, selagi kamu memperhatikan makhluk maka kamu tidak akan
mengetahui siapa tuhanmu.”
Gambaran betapa dunia ini merupakan suatu kerajaan
tanda tanya yang menjadikan kebenaran sebagai tawanannya yang mesti dilawan
dengan senjata filsafat. Karena dengan kebenaran, kebahagian akan tercapai
didalam penyatuan bersama Tuhan dalam lingkaran “Khawwaasul khawwas”. Sebuah penyatuan yang akan menenggelamkan
segala keindahan duniawi termasuk ramadhan yang katanya penuh dengan berkah..
Beeedeng…
Manusia akan menyadari semuanya ketika konsep
“Wahdatul Wujud” direalisasikan dalam kehidupa, dan keindahan ramadhan yang sebenarnya akan menyatu didalam
jiwa “nathiq”.