Sabtu, 13 Juni 2015

Si Buta Dari Gua Plato - Cerpen Penuh Makna

Kalian pasti pernah mendengar akan mitos gua milik plato. Namun tanpa kesombongan aku berani bertaruh bahwa “si buta dari gua plato” lebih membumi dan lebih mempesona. Maka penulis menawarkan untuk membaca karya ini dengan imajinasi yang fokus. Silahkan.
Seorang buta memandangi setitik cahaya diujung dinding-dinding terjal. Cahaya itu berpancar lurus kearahnya. Membuatnya bertanya. Apakah cahaya itu?. Seumur hidupnya dia buta akan apa yang ada selain disekelilingnya yang gelap. Bersama warga lain sebutanya. Dia seumur hidup bergerak dalam kegelapan gua. Belakangan ini naluri dialektika menggoda dirinya ingin menuju pada tempat cahaya itu berujung. Namun rasa takutnya tak kalah mengganggu dirinya. Yang dia tahu bahwa selama kehidupannya yang gelap didalam gua ini telah membuat hidupnya berada pada garis aman dan kenyamanan. Dia bertarung dengan dirinya. Mencoba untuk mengambil kesimpulan tetap berdiri ditempat yang aman ini atau mencoba untuk out of the box menantang resiko.
Lama dia berpikir tak ada satupun kesimpulan yang berhasil ditariknya. Satu sisi membuatnya nyaman disatu sisi menggodanya untuk mencari tahu. Namun tetap saja dia tak bisa memilih salah satunya.
Setiap cahaya itu hilang dari ujung celah kecil gua itu membuat tanya yang bergerak di urat-urat otaknya menggebu. Apa yang membuat cahaya itu hilang?. Begitupun juga ketika cahaya itu kembali muncul dicelah kecil gua yang sangat gelap itu. Otaknya kembali berdialektika. Apa yang membuat cahaya itu kembali muncul.?. tanya yang ada dalam dirinya mengalami klimaks saat sesosok terbentuk dari cahaya itu. Sesosok bayangan terbentuk didinding gua yang dituju oleh cahaya itu. Bayangan itu dikira-kiranya. Disentuhnya tapi tak ada bentuk yang dirasanya. Hampa dan tidak memuaskan tanyanya yang menggeliat. Dia sangat kecewa saat bentuk bayangan itu menghilang. Meninggalkan secercah cahaya yang lurus mengarah padanya.
Lama lagi ia kembali berpikir. Apa yang harus dipilihnya. Haruskah ia terus terpaku pada kegelapan yang menyamankannya. Atau menuju pada secercah cahaya yang tidak memberikan kepastian. Dia lalu berucap pada teman- teman sehidupnya didalam gua. Yang sedang duduk membelakangi cahaya.
“wahai teman-teman sekalian aku harus menuju pada cahaya itu.?” Ucapnya sambil menunjuk kearah cahaya itu?
“apa kau ingin membunuh dirimu.? Pergilah kau jika kau memang sudah tak sayang lagi dengan dirimu. Mengapa kau ingin menuju pada cahaya itu padahal tempatmu sekarang ini memberimu kenyamanan dan keamanan?” ucap mereka bergantian mengeroyok niat aneh dari kawannya.
“ tidak, walaupun cahaya itu akan membunuh diriku. Aku lebih baik mati dari pada harus tersiksa oleh rasa tanya yang menggigit nuraniku?” ucapnya dengan pasti.
Saat itu pula dia membuktikan pada teman sehidupnya didalam gua itu. Dengan tangan kosongnya dia memanjat. Memegangi bebatauan yang sangat licin dan juga tak terlihat. Gua itu sangat gelap hanya ada setitik cahaya yang bisa masuk kedalam gua itu. Dan cahaya itulah yang ingin ditaklukan olehnya. Namuan karena bebatuan yang licin dtambah pengalaman yang nihil dalam memanjat tebing akhirnya membuatnya terjatuh pada bebatuan yang keras dibawahnya. Dia berteriak kesakitan. Ada rasa perih yang dirasakan ditelapak kakinya. dia kembali mencobanya namun sekali lagi bebatuan yang terjal membuatnya terjatuh lagi. Rasa perih yang dirasakannya semakin sakit. Tapi sekali lagi dia mencoba namun terjatuh lagi. Dia mencoba dan terjatuh lagi, dia mencoba lagi, lagi, lagi dan lagi namun terjatuh lagi, lagi, lagi dan lagi. Dia berteriak dengan keras karena rasa sakit yang semakin parah. Lalu salah seorang temannya berucap kepadanya.
“lebih baik kau hentikan saja semua itu. tak ada gunanya kau memanjat. Tidak ada apa-apa dibalik cahaya itu. Kehidupan itu hanya ada digua ini?”
Ucapan itu membuatnya pesimis. Namun keterlanjuran dirinya mengambil keputusan membuatnya bangkit dari pesimistis. Dia kembali mencobanya namun terjatuh lagi. Seharian dia terus mencoba hingga cahaya itu redup oleh malam. Membuat dirinya berhenti mencoba. Namuan tidak berhenti secara mutlak. Dia berjanji pada dirinya untuk mencobanya lagi saat cahaya itu kembali muncul. Didalam pikirannya dia menebak ada apa dibalik cahaya itu?. Siapa bayangan yang terbentuk dari cahaya itu.? Semalaman dia berpikir hingga cahaya itu kembali bersinar melewati celah gua.
Sekali lagi dia memanjat namun terjatuh lagi. Dia mencobanya lagi namun terjatuh lagi. Hampir tiga puluh kali cahaya itu hilang dan muncul. Dia belum juga berhasil. Batu pijakan yang licin dan dinding yang begitu terjal benar-benar menyulitkannya. Saat itu dia mulai berpikir untuk berhenti mencobanya. Dan bisikan dari sekitarnya untuk menghentikan kelakuan anehnya sudah mematahkan semangatnya. Sehari itu dia vakum dari pemanjatan tebing. Keesokan harinya cahaya itu muncul lagi. Dia bermaksud ingin mencobanya lagi namun semangatnya sudah patah. Dia terduduk dan membelakangi cahaya itu. Memandangi tembok datar yang dipancari oleh cahaya itu. Tiba tiba dari tembok itu bayangan yang pernah dilihatnya kembali muncul kali ini sangat jelas. Dia masih saja duduk dan berpikir bahwa apa yang dilihatnya itulah yang sebenarnya. Apa yang ada disekelilingnya itulah kehidupan. Tidak ada sesuatu dibalik cahaya itu. Namun sesuatu terdengar dari cahaya itu. Suara yang sangat keras dan membuat seisi gua itu terheran-heran. Dia yang dianggap aneh lalu berdiri dari duduk pesimisnya. dia dibuat terhentak oleh suara yang baru saja didengarnya. Dia begitu yakin bahwa bentuk yang sebenarnya dari bayangan yang dilihatnya dari tembok gua itulah yang menyebabkan suara keras itu. Dia lalu menelan semua persepsi awalnya lalu menuju pada persepi positif. Bahwa benar ada sesuatu dibalik cahaya itu. Dia berdiri lalu kembali memanjat tebing dengan semangat yang lebih membakar dari yang sebelumnya. Kali ini dia membulatkan tekadnya untuk tidak berhenti sebelum berhasil.
Namun ia mesti harus bersabar lagi. Dia kembali terjatuh. Dan rasa sakit yang dirasakannya sudah sangat menyiksa. Bukan hanya fisiknya yang tersiksa. Mental dirinya juga ikut merasakan sakit setelah teman sehidupnya didalam gua sudah menjauhinya dan mendiagnosanya sebagai seorang yang sudah gila.


Dia merasakan kelabilan. Dirinya dan dirinya yang lain bertempur dengan dirinya. Dirinya yang lain mengatakan untuk berhenti saja. dirinya yang lain mengatakan untuk terus mencoba. Dan dirinya yang lain merasakan kebingungan untuk mendengarkan yang mana. Dia sangat tersiksa secara fisik dan batin, namun dalam keadaan tersiksa itu dia terus mencoba untuk memanjat. Terakhir kali dia sudah hampir menyentuh tempat  cahaya itu memancar namun dia kembali terjatuh. Dan sakit akibat terjatuh itu semakin memuncak. Karena semakin tinggi ia memanjat semakin parah rasa sakit yang dirasakannya. Sambil menahan rasa sakitnya dia kembali mencoba.



Dan dia berhasil. Kali ini dia berhasil menyentuh tempat cahaya itu memasuki gua. Sambil bergelantungan dia mengeluarkan tangannya melewati celah seukuran kepalanya. Dia merasakan angin berhembus lembut menyapa tangannya. Nyaman yang lebih nyaman dari selama ini yang pertama kali dirasakannya. Dia kembali memasukkan tangannya lalu memegangi dindinggua kuat kuat. Kali ini dia berusaha membuat kepalanya dapat melewati celah kecil itu. Dia ingin mengetahui apa yang ada dibalik lubang cahaya itu. Pelan- pelan dia mengeluarkan kepalanya. Tangannya berpegangan kuat pada pegangan yang dapat dipegangnya. Dia amat takut mengalami kegagalan pada keberhasilan yang sudah didepan mata. Setengah kepalanya sudah meyembul keluar dari lubang itu. Kini mata yang dia pakai untuk melihat dan semua kepalanya hingga leher berhasil menyembul keluar dari lubang cahaya itu. Matanya masih tertutup dan pelan pelan dia membukanya. Saat mata itu terbuka semua cahaya menyambutnya. Hingga mata miliknya menyipit karena merasakan kesilauan yang luar biasa. Namun rabun-rabun muncullah berbagai warna dilihatnya. Hijau, biru dan putih warna itu jelas sudah terlihat. Hijau adalah warna pepohonan yang mendominasi penglihatannya. Biru adalah warna laut. Dan putih adalah warna awan. Namun apa itu pohon?. Apa itu laut?. Dan apa itu awan?. Jelas belum diketahuinya. Wajahnya yang dipenuhi bulu. Kotor dan tidak terawat menunjukan senyuman yang luar bisa menyenangkan. Apa yang selama ini diimpikannya telah tercapai. Tiba- tiba seekor burung elang bersuara keras. Dan dia berkata.
“ ternyata itulah bayangan yang pernah kulihat dari tembok gua.?” Lalu dia tersenyum tapi beberapa detik kemudian wajahnya murung. Dia sadar bahwa kehidupan yang sebenarnya ada dibalik gua ini. Namuan dia sadar bahwa dia masih terperangkap didalam gua. Dan dengan celah kecil ini dia tak mungkin keluar dari dalam gua. Meskipun kepalanya sudah bisa dikeluarkannya. Namun kepuasan belum dirasakannya. Dia ingin membawa seluruh tubuhnya keluar dari dalam gua. Dengan setengah tersenyum juga setengah kecewa dia menurunkan kepalanya. Lalu turun dari tebing gua. Didaratan gua itu dia lalu berteriak.
“teman-temanku sekalian aku telah berhasil meraih cahaya itu. Dan tempat yang begitu luas ada dibalik cahaya itu. Dan teman-teman sekalian disanalah tempat kita. Dan marilah kita sama-sama saling membantu untuk bisa keluar dari dalam gua ini.”
Tiga kali dia mengulang perkataanya. Namun tak ada jawaban. Ada satu jawaban namun jawaban itu sangat mengecewakannya.
“pergilah kau sendiri wahai orang gila. Kami sudah sangat nyaman ditempat ini. Jika kau ingin mati. Kau jangan mengajak kami. Dasar gila.”
Dia lalu berpikir keras bagaimana caranya untuk bisa mengeluarkan dirinya dari dalam gua itu. Tanpa bantuan teman-temannya dia akan sangat kesulitan. Namun godaan keindahan dari yang baru saja disaksikannya membuatnya mengambil cara yang sangat sederhana namun butuh waktu yang sangat panjang untuk meraih keberhasilan. Batu memukul batu. Pasti akan ada yang pecah. Itulah yang akan dilakukannya. Memukul ujung batu dari celah kecil itu agar semakin membesar biar tubuhnya dapat mendapatkan ruang untuk keluar dari dalam gua itu.
Dengan hanya bermodalkan batuan yang sebesar tinjunya dan batuan yang dipukulnya setebal dua jengkal. Celah itu hanya terkikis 5cm dan itu membutuhkan setahun lamanya. Setiap waktu dia begitu disiplin memanjat dan memukul tebing. Namun karena keributan yang dibuatnya saat memukul tebing dia mendapatkan protes dari warga gua sekitarnya. Namun dia tidak berhenti memukul tebing. Semakin keras dia memukul tebing. semakin keras pula protes yang menghampirinya. Namun ia kembali memukul tebing. Dan protes dari warga sekitar kini berubah dengan pukulan yang mendarat diwajahnya saat ia turun dari tebing. Wajahnya babak belur oleh pukulan dari orang sekitarnya. Namun keindahan dari balik cahaya itu sudah membuatnya lupa dengan sekitarnya menyembuhkan rasa sakit dari pukulan mereka. Dia kembali memukul tebing itu. Dan suara keras saat batu itu bersentuhan kembali membuat warga sekitar mendatanginya. Kali ini bukan pukulan yang mendarat di wajahya. Saat masih berada diatas tebing dia dilempari batu. Ada puluhan batu yang berhasil mengenainya. Satu buah batu mengenai kepalanya hingga mengucurkan darah yang cukup banyak. karena darah yang mengucur terlalu banyak ia kehilangan kesadaran dan terjatuh dari atas tebing. Untung saja kepalanya tak mendarat dibebatuan keras tapi pada seonggok pasir berhasil menyelamatkan hidupnya.
Dia kehilangan kesadaran dan dianggap sudah mati oleh warga sekitar. Namun dia belum mati. Dia hanya tak sadarkan diri. dari balik kesadaran diri yang belum didapatnya dia bermimpi. Memimpikan sesuatu yang belum pernah diimpikannya sebelum ini. Dia berlari di rumput savana bersama kelompok zebra. Dia berenang dilautan yang luas bersama lumba-lumba. Dan dia dibawa terbang oleh ribuan elang.
 Lama ia menikmati mimpinya hingga ia tersadar setelah tiga hari tiga malam. Dia merasakan kepalanya yang begitu berat untuk diangkat. Rabun-rabun dia melihat celah cahaya itu sudah semakin lebar. Dia merasakan bahwa apa yang dilakukannya tidaklah sia-sia. Ada hasil yang didapatkannya. Namun ancaman dari warga sekitar membuatnya terhalang. Kali ini dia mendapat rintangan dari sejenisnya yang sudah menganggapnya sebagai pengganggu.
Tidak, tidak ada kata untuk berhenti. Kalaupun dia harus mati. Dia ingin mati pada jalan yang sudah dipilihnya. Haram baginya untuk mati pada jalan yang bukan jalannya. Tapi dia sadar pula jika ia mati sebelum menikmati keindahan dari balik cahaya itu maka matinya juga akan sia-sia. Dia harus berpikir lagi. Bagaimana caranya bisa keluar tanpa harus mengancam dirinya.
Lalu dia sadar. Gua ini beruang maka dimanapaun ia menggagali itu akan membawanya keluar dari gua. Dan dia memilih menggali dari tempat dimana sesorangpun tak bisa mendengar suara galiannya. Tapi itu tak berhasil karena dimanapun dia mencobanya suara yang bergema berhasil didengar oleh semua yang mendengar dari dalam gua ini. Dia kembali berpikir lagi namun pikirannya buntuh. Tidak ada cara lain lagi kecuali melanjutkan usaha yang sudah setengah jalan. Tapi kali ini dia mendatangi warga yang memusuhinya. Dia sadar kalau warga akan mengoceh kepadanya dan tidak meutup kemungkinan mereka akan membunuhnya.
“ternyata kau masih hidup wahai orang gila?” ucap salah seorang warga.
“maafkan aku karena telah mengganggu kalian. Tapi aku harus keluar dari tempat ini.”
“ kau memang sudah gila. Dan jangan kegilaanmu membuat kami juga ikut gila karena usaha gilamu itu.?”
“aku ingin membuat perjanjian dengan kalian”
“perjanjian apa?”
“aku akan memukul tebing itu lagi. Dan saya meminta kelonggaran dari kalian?”
“jika kau mencoba memukul tebing itu lagi maka kau akan kami bunuh”
“aku harus memukulnya. Tapi kali ini aku hanya akan memukulnya sebanyak 17 kali sehari semalam. 2 sebelum cahaya itu muncul. 4 disaat cahaya itu sangat terang. 4 disaat cahaya itu mulai meredup. 3 saat cahaya itu akan menghilang dan 4 disaat cahaya itu sudah menghilang.”
Para warga itu berpikir sejenak. Dan kemudian berkata.
“tidak kami tidak akan memberimu kesempatan. Jika kau berani mencoba untuk memukul tebing itu. Maka kami tak akan segan-segan membunuhmu”
Dia tidak takut mati. Dia hanya takut mati sebelum merasakan keindahan yang di impikannya. Dia mengambil kesimpulan. Kalaupun aku harus mati. Biarlah aku mati tanpa mencapai keindahan itu. Walaupun mereka memaksaku untuk memikul matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku aku tidak akan pernah berhenti untuk berusaha. Kalau pun aku harus mati tanpa meraih keindahan itu. Aku ikhlas mati pada keadaan mencintai keindahan. Aku rela mati sebagi seorang pecinta keindahan.
Dengan tekadnya yang sudah membulat sempurna. Keras dan kokoh. Dia mengambil batu besar dan memegangnya pada tangan kanannya. Lalu dia berjalan lambat menuju pinggir tebing. Lalu dia disana dia berteriak sekencang-kencangnya.
“ aku rela mati sebagai pecinta keindahan. Aku rela mati pada kehidupan yang sulit tapi pada jalan yang benar dari pada harus hidup nyaman pada jalan yang sesat. Kukatakan kepada kalian bahwa keindahan yang sebenarnya ada dibalik cahaya itu” dia berucap dengan keras sangat keras. Hingga suara kerasnya itu bergema sangat lama dan terpantul pada dinding gua. Warga sekitar yang mendengarnya menutup telinganya karena suara itu sangatlah keras.
Suara itu masih saja bergema. Dia dengan berbagai bekas luka dibadannya. Dan luka yang belum kering dikepalanya. Mulai memanjat tebing. Tidak cukup susah dia memulainya. Karena sudah terlalu sering dia menaklukkan tebing terjal itu. Tebing seukuran 90 derajat. Namun dipertengahan jalan. Suara yang jahat terdengar olehnya.
“bunuh dia. Dia adalah manusia pendosa dan pengganggu. Mulutnya terlalu kotor untuk dibiarkan. Lempar dia sampai mati” ucap seorang yang begitu marah.
“ yah lempar dia. Pungut semua batu. Dan lemparkan kepadanya.” Ucap orang yang lain.
“yaaaaaah” ucap mereka serentak.
Dia sadar bahwa nyawanya terancam. Tapi dia tersenyum. Dia sadar kalaupun mereka tak mengikuti perkataannya ada saatnya dimana orang yang datang belakangan akan sadar dengan apa yang dikatakannya.
Puluhan batu sudah melayang kearahnya. Dan semuanya berhasil mengenainya. Sebagaian besar mengaraha kepunggungya. Dia tentu saja merasakan sakit yang luar biasa. Namun dia tersenyum saja kearah cahaya yang didekatinya. Sebuah batu mengenai lagi kepalanya. Dia tersentak kesakitan. Orang yang mengenainya tertawa lepas. Begitu dengan yang lain. Mereka tertawa pada kebenaran yang dilemparinya. Dia terusa saja memanjat. Nafasnya sudah tak teratur. Sangat berat dia bernafas. Namun ia berhasil mendekati cahaya itu dan menyembulkan kepalanya dia celah yang sudah dilebarkannya. Namun tak cukup lebar untuk meloloskan semua fisiknya. Walhasil dirinya yang terperangkap didalam gua menjadi bulan bulanan warga. Menjadi tempat mendarat bebatauan yang dilemparkan kearahnya. Makin kejam saja perlakuan warga gua yang buta kepadanya.
“ wahai keindahan aku mencintaimu, namun aku hanya bisa mencintaimu. Menjadi pecinta padamu akupun rela. Dan terima kasih kepadamu karena kau telah memberikanku jalan yang seindah ini.” Dia berucap dengan sangat berat dan terbatah-batah. Bisa jadi itulah ucapannya yang terakhir. Itu pulalah terakhir kalinya dia memandangi hijau, biru dan putih dan mendengar suara elang yang memekakkan telinga untuk yang terakhir kalinya.
Hampir sesore dia bertahan dari rasa sakit. warga sekitar sudah menghentikan lemparannya. Karena yang dilempari sudah tak bergerak lagi. Dia sudah terjatuh kembali kedalam gua. Kali ini dia tidak bisa bertahan lagi. Dia telah mati. Tubuhnya terlihat membusuk dan dibiarkan begitu saja. tidak ada yang mau mengurusi tubuhnya yang sudah penuh dengan darah. Apakah ini akhir baginya.
Jawaban yang paling tepat adalah tidak. Bahkan dia baru saja memulai kehidupan yang ideal baginya. Kehidupan yang diinginkannya.
Saudara sekalian. Ada banyak hikmah dan personifikasi yang dapat diambil dari cerita ini. Tergantung dari siapa yang mengkonsumsinya. terlihat penulis hanya menawarkan secangkir teh. Padahal penulis menawarkan jus buah-buahan.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon