Kamis, 04 Juni 2015

Eksistensi manusia dalam persfektif Martin Heidegger

Eksistensi manusia dalam persfektif Martin Heidegger
BAIKLAH. Sebelum menodai kertas ini dengan tinta dosa dan beberapa baris paragraf bijak. Maka izinkanlah sejenak mulut kotor ini melantunkan sebuah keindahan puisi filosofis.

Ada dan ada 
Ada adalah ada.dan ada adalah Ada.tapi Ada terlupakan.dan ada melupakan.Jika Ada terlupakan.maka ada melupakan ada.jika Ada menanya.ada ikut menanya.tapi jika Ada menjawab.ada masih menanya.Ada sibuk dengan ada.tapi ada sibuk dengan ada.maka ada amnesia akan Ada.jadi. Apakah Ada dan ada.mengapa ada bisa ada.

Bingung, maka seperti itulah kita (manusia), membingungkan. Tapi keindahan yang sejati memang membutuhkan perjuangan rasio dan nurani untuk dirasakan. Dan perjuangan itu akan segera kita mulai. Maka pasti keindahan puisi ini akan sama-sama kita teguk kesegarannya.

Untuk menjawab apakah Ada dan ada? dan mengapa ada bisa ada?. Maka kita harus melangkah dan bertamu kerumah filsafat manusia dan kita akan dijamu oleh tuan rumah yang terkenal bijak dan ramah. Dialah Martin Heidegger.

Tetapi sebelum datang bertamu kerumah Tuan Heidegger. Ada lebih baiknya telebih dahulu kita berbelanja ketoko Dasein market terdekat untuk membawakan sebuah hadiah yang terbungkus oleh bungkusan kebingungan yang cukup mahal sekaligus berharga. Yang pasti akan membuat seorang Heidegger tersenyum.

Hadiahnya seperti ini. Seberapa jauh anda telah berjalan didalam labirin ruang dan waktu. Dan seberapa jauh anda telah tersesat atau mungkin telah menemukan jalan keluar dari labirin itu sehingga anda telah tahu akan eksistensial manusia yang begitu kompleks. Atau anda merasa nyaman tersesat dalam labirin itu dan tidak ingin tahu menahu atau memilih menjadi seorang pecundang sejati yang tidak ingin mengambil resiko lalu buta dan amnesia dengan eksistensi manusia.

Hadiahnya telah kita miliki. Hadiah berupa eksistensi yang pasti menyenangkan Heidegger. Sekarang saatnya kita berjalan kerumah Sang Heidegger. Perjalanannya akan sedikit jauh dan agak membingunkan. Maka agar tidak bosan. Marilah kita mendengarkan sebuah lagu yang indah dan mempesona berjudul filsafat manusia. Marilah kita menikmatinya. Maka kita akan tahu hakikat kemanusiaan.

Nyayian  eksisitensi mengiringi perjalanan.


Filsafat manusia yang juga dalam bahasa Inggris diartikan philosophy of man, merupakan bagian dari filsafat yang berupaya menelisik eksistensi manusia. Sebuah filsafat yang berusaha dan berupaya melukiskan siapa yang sebenarnya makhluk bernama manusia itu. Dan akan coba memenyingkap misteri dibalik kompleksititas eksistensi seorang manusia dalam keseluruhan dimensinya : hakikat kemanusiaanya, motif dibalik segala aktifitasnya, nilai, tujuan, makna kehidupannya. Dan segala sesuatu yang berhubungan dengan eksistensinya sepanjang napas kehidupannya. 
Yah, nikmatkan. Ini masih sebuah intro kita belum masuk kedalam reffnya. Maka marilah kita menambah volume musiknya, agar lagu ini semakin menggoyang.
Filsuf yang sedang berfilsafat bukan hanya berusaha memahami esensi manusia secara individu atau luas. Tapi dibalik usaha itu filosof juga berusaha memahami esensi dirinya. Denga demikian setiap apa yang dikeluarkannya akan jawab eksitensi itu bersifat penilaian pribadi yang sudah berbau subjektif.
Tetapi dalam filsafat manusia, yang kita cari adalah das sollen ( kenyataan yang seharusnya) bukan hanya das sein ( kenyataan yang sebagaimana adanya). Maka nilai subjektif dari seorang filosof baik dalam segi personal, moral, religius ataupun kemanusian bukanlah virus yang harus dijauhi. Maka janganlah heran ketika Karl Marx berkata seperti ini . “tugas seorang filosof bukan lagi berusaha menerangkan  dunia( das sein) tetapi berusahamengubah dunia (das sollen)”. Niatzche juga ikut mengingatkan dan mengajak kita untuk ikut mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, dan bodoh.dan menggantinya dengan kebudayaan adikuasa, megah, kompetiif, perkasa,  hebat dan berani.Maka marilah kita berusaha keluar dari kebiasaan sederhana yang berjalan datar dan tetap mempertimbangkan setiap hasil pemikiran para filosof hebat nan bijakasana.
Bagaimana apakah lagu ini sudah menggugah kalian. Jika iya maka siap-siaplah mendengarkan reffnya, tapi jika belum. Mudah-mudahan anda bisa tergugah dengan reff dari lagu ini. Dan inilah reffnya.
Mengenai apa sebenarnya inti, esensi, hakikat atau struktur dasar manusia itu, ternyata banyak mengundang jawaban yang beragam dari hampir setiap filsuf, bahkan mereka yang beraliran sekalipun. Misalnya saja konsep yang diajukan oleh Descartes. Seorang filsuf Prancis yang selalu disebut-sebut sebagai Bapak Filsafat Modern itu. Menurutnya penganut dualisme tentang manusia ini, hakikat manusia yakni substansi yang memiliki sifat dasar res extensa dan res cogitans, atau substansi yang memiliki keluasan dan substansi yang berpikir. Pada manusia, res extensa teraktualisasi pada tubuh, sedangkan res cogitans pada jiwa.
Sedangkan Schopenheuer percaya bahwa “kehendak (buta)” merupakan prinsip dasar yang menggerakkan alam semesta maupun aktivitas manusia. Lalu Henry Bergson, seorang vitalis dan/atau filsuf spritual Prancis yang terkenal itu menunjuk pada “elan vital” (suatu energi hidup atau daya pendorong hidup) sebagai sumber yang memungkinkan segalapergerakan dalam kehidupan dan tindak tanduk manusia. Niatzche yang terkenal akan “Tuhan telah matinya”  seorang filsuf Prancis secara lebih spesifik lagi menunjuk pada “Wille zur macht” (kehendak untuk berkuasa). Sebagai energi yang memungkinkan peredaran alam dan perilaku manusia. Karl Marx, filsuf penggagas komunisme yang sangat terkenal akan jenggot lebatnya. Menempatkan materi sebagai hakikat manusia dan memandang alat-alat produksi serta hubungan-hubungan produksi sebagai kekuatan-kekuatan, yang menetukan kesadaran dan perilaku manusia.
Para filsuf yang sangat hebat sudah mengajukan pertanyaan yang berbeda. Dan jawaban yang dihasilkan juga berbeda-berbeda. Oleh sebab itulah setelah kita mempelajari filsafat manusia setidaknya kita bisa mengerti akan kompleksitas sebuah makhluk yang bernama manusia. Yang tidak akan pernah berhenti untuk membingungkan. Dan misteri akan dirinya teruslah menggoda.
Lagunya telah selesai, kita harap setidaknya itu sudah menggugah dan membuka cakrawala intelektual kita untuk bersikap kritis. Dan mulai bertanya. Apakah aku dan siapakah aku. Darimanakah aku dan akan kemanakah aku!.
Seiring lagu yang nikmat ini telah habis, kita juga telah sampai didepan halaman rumah tuan Heidegger. Maka dengan sopan marilah kita membuka pintu pagarnya. Tenang saja. Heidegger tidak memiliki anjing penjaga. Kita bebas masuk. Lihat saja disana diantara pintu depan rumah sederhana itu. seseorang sedang berdiri menunggu kita. Mungkin dialah Martin Heidegger. maka sebentar lagi kita akan bertemu dengannya, saya harap hadiah yang sudah kita beli tadi tidak terlupakan dan tetap terbungkus dengan rapi. Karena kalau hadiah itu hilang maka Heidegger mungkin akan kecewa.
Ayo kita masuk. Kalian mungkin akan merasa takjub melihat halaman rumah Martin Heidegger yang begitu luas dan penuh dengan bunga bunga yang indah. Rumah yang begitu asri dan tenang. Karena memang Martin Heidegger  menyukai ketenangan yang sepi dan sunyi agar dia dapat dengan fokus berikir akan kegiatan filosofis. Namun kita pasti akan terkaget ketika melihat bendera Nazi dipintunya itu. Karena memang Heidegger sempat disebut sebut berpihak pada Nazi. Tapi Lihatlah bagaimana Martin Heidegger tersenyum kepada kita dan melambaikan tangannya dengan lembut kearah kita menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang begitu berpengaruh. Percepatlah langkah kita, kelihatannya Heidegger sudah begitu rindu dengan kita.
Kita sudah berada diruang tamunya yang begitu sederhana, hanya ada kursi kayu dan beberapa hiasan dinding yang antik serta gambar-gambar tentara nazi. Heidegger yang sudah terlihat tua datang menghampiri kita dengan membawa segelas kopi hangat. Dan tersenyum lagi. Dan duduk dihadapan kita. Dan dia mulai bertanya.

“Ada apa gerangan kalian menyempatkan diri datang kerumahku yang sederhana ini ?”

Marilah kita menjawab pertanyaannya dengan sopan. “ kami datang kemari untuk memberikan hadiah ini.” Maka berikanlah hadiah itu. Dan kita melihat bagaimana berserinya wajah tua itu ketika menerima hadiah dari kita. Dengan tangannya yang sudah rentah, bungkusan hadiah itu terkoyak dan memperlihatkan sebuah hadiah secarcik kertas yang berkilauan. Membuat Heidegger begitu terpesona dan pelan-pelan ia membancanya.
dia menganggukkan kepalanya. Dan meletakkan kembali secarcik kertas itu. Lalu meminum seteguk kopi hangat buatannya. Kita juga ikut dipersilahkan. Maka marilah kita meneguk kopi hangat itu. Agak pahit memang. Tapi kopi buatan Heidegger tidak begitu mengecewakan. Heidegger berdehem. Dan nampaknya akan memulai pembicaraan. Maka siapkan mata dan telinga kita. Apa yang akan diucapkannya. Akan sangat berharga.


Ada Yang Terlupakan

Heidegger mengucapkan dengan matanya yang sayu, bahwa untuk keluar dari labirin itu kita harus tahu siapa kita. Jika telah tahu. Maka kita juga akan tahu eksistensi manusia. Maka itulah jalan keluarnya.tapi untuk mengetahui itu. Maka kita harus tahu apakah Ada itu ?.
Heidegger lebih lanjut mengatakan tradisi filsafat barat lalai membedakan antara  “Ada”(Being) dengan “a” besar dan “adaan” (being). “Ada” ditafsirkan dengan “adaan”. Rumah itu, pohon itu. Kursi itu adalah “ada”. Tapi “Ada” sendiri bukanlah rumah itu, pohon itu, dan kursi itu. “Ada” adalah sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “adaan”. Filsafat Barat dan mungkin bahkan kalian yang modern terlena lalau lalai akan pertanyaan filosofis sesungguhnya.
Pertanyaan filsafat barat selama ini berbasiskan asumsi tentang “ada” sebagai benda-benda deskriftif. Sedangkankan “Ada” dengan “a” besar bagiku(Heidegger) lebih agung dari itu. Pertanyaan filsafat harus dikonsentrasikan pada “Ada” yang agung itu. “Ada” yang menuntut perubahan pola pertanyaan filosofis. “Ada”  harus dibedakan dengan pertanyaan tentang apa pulpen itu.
“tunggu dulu Tuan Heidegger”.
Kita mulai bingung. Dan kita menghentikan pembicaraan. Heidegger menatap kearah kita. Dan dia seolah tak sabar lagi melanjutkan penjelasannya. Maka kita mengajukan pertanyaan pada Heidegger.
“ Jika “Ada” itu tidak memiliki sifat kebendaan, lalu tuan Heidegger bagaimanakah kita dapat mencari tahu akan “Ada” itu?”
Heidegger lalu menjawabnya. Dan melanjutkan penjelasannya.
Satu-satunya sosok yang dapat mempersoalkan “Ada” itu adalah manusia. Hanya Manusialah yang memiliki pemahaman samar-samar tentang “Ada”. Karena sehari-hari manusia bergelut dengan “Ada”. Hanya Manusia satu-satunya makhluk yang dibimbing oleh suatu pengetahuan yang samar tentang “Ada”.
Manusia adalah “ada” yang unik .keunikan yang membedakannya dengan benda-benda dan mampu mempersoalkan “Ada”. Karena manusia bukanlah benda melainkan dasein yang artinya “ Ada disana”. Manusia selalu merupakan “ada” yang menemukan dirinya terjebak didalam labirin ruang dan waktu tertentu. keterjebakan yang bukan mengisolasi tapi malahan membuka manusia pada persoalan “Ada”. Keterjebakan yang justru membuat manusia bertanya-bertanya dan mempersoalkan.
Maka jalan keluar dari labirin itu adalah labirin itu sendiri. Tidak ada jalan keluar dari labirin ruang dan waktu. Ketidak adaan jalan keluar justru itulah jalan keluarnya. Karena jawaban akan eksitensi itu ada dalam keterjebakan itu sendiri.
“bagaimana apakah kalian sudah mengerti akan labirin ruang dan waktu?” Heidegger bertanya pada kita.
“nampaknya kami masih butuh penjelasan darimu tuan Heidegger?” kita setuju menjawab pertanyaannya dengan jawaban seperti itu. Kita masih butuh penjelasan. Dan tenang saja. tuan Heidegger adalah orang yang pemurah hati. Dengan senang hati tuan Heidegger akan terus memeberikan kita air filsafat akan kehausan filosofis kita.

Manusia pecundang

“Jadi seperti ini nak” Heidegger melanjutkan penjelasannya.

Kondisi manusia selalu terentang antara dua eksitensi: autentik dan inautentik. Modus eksistensi autentik adalah kesadaran bahwa akulah yang harus menentukan pilihanku sendiri sementara modus eksistensi inautentik adalah hilangnya kesadaran akan aku yang autentik.

“jika kalian merasa setiap kegiatan kalian. Dan apa yang kalian pakai adalah pilihanmu sendiri maka kamulah manusia autentik. Sebaliknya jika kalian memilih memakai baju itu karena juga dipakai oleh orang lain maka kalianlah manusia yang inautentik.”
Manusia itu enggan menerima Ada-nya sendiri (miliknya sendiri). Dan lebih suka memberikan atau menguasakannya kepada orang lain. Dalam kondisi seperti itu, manusia membuka pintu lebar-lebar bagi orang lain dan mengizinkan orang lain itu untuk membentuk dan mengarahkan eksistensinya. Orang lain itu seperti : Norma-norma yang diberlakukan secara umum dan global, misalnya dalam cara berpakaian, berbicara, berpikir, dan bercita rasa. Tokoh idola, iklan, dan media massa menjadi acuan hidupnya, dan mode menjadi tujuan eksistensinya. Jika si misal “Aliando atau Raisa” berpakaian seperti Berswiter dan bergaun. Maka kita juga akan mengikuti apa yang dipakai oleh si Aliando dan si Raisa.
Ada alasan mengapa manusia memilih hidup menjadi “Orang lain”, manjadi tidak autentik. Manusia yang ingin menjadi orang lain adalah manusia yang cemas dan tidak ingin bertanggung jawab dengan apa yang ada di di rinya. Jika ada yang salah maka orang lain itulah yang salah. Karena dengan memutuskan sendiri apa yang saya lakukan seringkali menimbulkan rasa cemas, bukan saja sering tidak tahu resiko apa yang akan terjadi, tetapi juga karena khawatir menjadi “lain” dari apa yang dipikirkan atau diperbuat oleh orang lain. Maka manusia yang inautentik adalah manusia-manusia pengecut dan pecundang yang kesehariannya bukan menjadi dirinya sendiri melainkan menjadi orang lain dan tenggelam jauh didialam jurang hidup manusia kebanyakan dan berlindung didalam sana.

Manusia yang sejatinya pemenang.

Keberadaan manusia yang terlempar di dunia begitu saja. tanpa tahu dari mana dan akan kemana. Aku (Heidegger) menyebut ini dengan faksitas. Yakni kenyataan bahwa manusia ada didunia ini bersifat niscaya. Manusia tidak pernah ditanya lebih dahulu mau tidak kau hidup didunia ini. Manusia ada begitu saja didunia ini.
“ tapi tuan Heidegger tapi agamaku berkata bahwa manusia dari Allah dan akan kembali padaNya”. Kita seolah tak setuju dengan pendapat Tuan Heidegger. Tapi tuan Heidegger punya jawabannya.
Kesadaran religius kalian harus ditangguhkan dahulu. Kita harus menyingkirkan nama Allah dalam pembahasan kita. Sebab faktanya justru kesadaran religius ini malah menyebarkan virus amnesia pada kebanyakan orang beragama dengan tidak pernah lagi mempertanyakan eksistensinya lagi. Pertanyan-pertanyaan seperti: apa sebenarnya kehidupan ini? Untuk apa kita ada didunia ini? Kemanakah kita akan berakhir?. Semua pertanyaan itu malah hilang dari benak orang yang beragama.
Padahal pertanyaan-pertanyaan tersebut nantinya akan mengisi kehidupan kita dengan makna-makna yang sesungguhnya. Kebanyakan kita larut dalan rutinitas keseharian semata. Disini sebenarnya agama hanya merupakan sosialisasi manusia sejak kecil, tidak lebih.
Masa depan adalah tujuan. Maka manusia selalu berada dalam proses menjadi yakni tidak akan pernah selesai berkembang. Rumus filosfisnya seperti ini: manusia itu lebih kepada “menjadi” dari pada “Ada”. Dengan kata lain, eksistensi manusia secara autentik adalah menampakkan “Ada” dalam setiap eksistensi kehidupannya. Hanya “Ada” yang mempengaruhi “ada” maka “ada” adalah yang autentik. Tapi bila “ada” dipengaruhi oleh “ada” maka ada adalah manusia inautentik. Mengerti?.
Tetapi ada sebuah moment dimana yang inautentik akan menjadi autentik dan yang autentik akan lebih menjadi autentik. Moment itu adalah moment dimana manusia mengalami kecemasan. Kecemasan akan timbul ketika prahara menyentuh kehidupan tenang kita. Entah itu penyakit, kekalahan, kegagalan, kemiskinan dan kematian.
Saat manusia dalam keadaan cemas yang mengguncangkan hinggga meruntuhkan segala wawasan, prinsip, pandangan, nilai-nilai dan kepercayaan kita. Saat itulah siapa diri kita yang sesungguhnya tersibak dan terungkap. Kita terhempas dan terlempar kedalam palung-palung eksistensi diri kita sendiri. Kedalam palung “Ada” didalam diri kita sendiri.
Kalau sebelumnya prinsip yang kita anut hanya semata-mata meniru masyarakat. Jatuh dalam ikatan norma dan patuh terhadap semua perkataan orang tua kita sejak kecil, saat dalam kecemasan semua kepatuhan dan norma masyarakat runtuh dan hancur berkeping-keping. Setelah hancur itu kita membangun kembali sendiri bangunan eksitensial tempat kita berlindung. Kecemasan akan mengantarkan kita menemukan rumah pemukiman eksistensial kita yang baru.
Meski dalam kenyataannya kecemasan itu mengganggu kedamaian dan rasa nyaman kita. Tetapi kecemasan itu malah akan bermuara pada kedamaian sejati. Kita akan menjadi tenang dalam ketidak tenangan. Kita akan damai dalam ketidak damaian, kita akan nyaman dalam ketidaknyamanan dan kita akan mencapai klimaks kebahagiaan ditengah cerita kehidupan yang berantakan.
Ketakutan dan kecemasan adalah sesuatu yang berbeda. Jika ketakutan memiliki objek yang jelas dan nyata. Maka obejek dari kecemasan buram, samar, bahkan tidak ada. Namun meskipun tidak ada. Tetapi malahan ketidak adaan ini adalah merupakan ancaman yang sangat nyata yakni kematian.
Kematian akan menjadikan manusia menjadi autentik. Menjadi dirinya sendiri yang solid dan personal. Kemungkinan untuk menjadi diri yang solid dan personal maka manusia harus menerima kematian sebagai fakta yang harus dihadapi ditengah eksistensinya. Menerima peristiwa penting kematian bererti menerima kenyataan bahwa manusia tidak lain adalah “Ada menuju kematian” dan menerima kenyataan bahwa Ada adalah Ada menuju kematian berarti membuka pintu lebar lebar menuju eksistensi yang autentik atau diri yang solid.

“seperti itulah kurang lebihnya. Saya (Heidegger) mungkin bisa membantu kalian menyingkap semua pertanyaan itu. Tapi saya hanya bisa membantu. Yang dapat menemukan jalan keluar dari labirin ruang dan waktu adalah kalian sendiri. Saya secara pribadi sangat berterima kasih telah diberikan hadiah yang begitu istimewa dari kalian. Moga penjelasan tadi bisa membayar hadiah itu. Dan mungkin hanya itulah yang bisa aku berikan kepada kalian untuk dibawa pulang kerumah. Terima kasih yah.”

Tak terasa matahari sudah akan bersembunyi. Malampun akan menjemput. Tapi sebelumnya kita sudah harus meninggalkan Tuan Heidegger. Ucapan terima kasih sangat layak kita ucapkan sebagai hadiah yang lain sebagai perpisahan bagi keramahan tuan Heidegger. Tapi jangan khawatir Heidegger akan tetap membuka pintunya untuk kita. Sekalai lagi terima kasih tuan Heidegger.
Saya harap juga  puisi yang membingungkan tadi sudah terjelaskan. Terima kasih telah menemani kami untuk mengunjungi rumah Tuan Heidegger. Kami harap anda selalu bertanya akan setiap eksitensi kehiduapn kalian. Siapakah aku. Dan akan kemanakah aku?. Dan jadilah manusia yang sejatinya pemenang yang manusia yang autentik.

Source : RWBlog
Penulis : Ma'ruf

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon