Manusia sebenarnya berada dalam samsara tak berkesudahan. Lingkaran kehidupan yang teratur dan selalu terulang. Saya teringat sebuah statment yang keluar dari mulut polos seorang anak yang berusia sekitar lima tahunan. “ayah, kenapa kita hidup untuk melakukan aktivitas yang selalu sama setiap harinya? Setiap hari ayah selalu sibuk. Bangun kemudian berangkat ke kantor terus pulang dan tidur. Lalu besoknya ayah melakukan hal yang sama. Apa ayah tidak merasa bosan?” Benar bukan?
Pertanyaan sederhana namun sangat filosofis yang patut dikaji dan ditanamkan dalam hati sebagai komposisi kontemplasi hidup. Dalam realita itulah manusia. Kita terjebak pada rutinistas yang senantiasa memerangkap kita untuk menjalani kehidupan yang dankal. Dari waktu ke waktu kita hanya terjebak pada rutinitas yang sama dari sebelumnya. Tidak ada perubahan. Tidak ada kemajuan. Tidak ada sesuatu yang baru.
Dari titik inilah filsafat mengajak untuk memberikan warna baru pad warna putih yang monoton. Sesuatu yang rutinitas biasanya merupakan sesuatu yang populer. Maka kita harus mampu memberikan corak baru pada sesuatu yang populer tersebut. Dengan apa? dengan berfilsafat. Kita harus memberikan sudut pandang yang baru pada rutinitas yang populer itu. Dengan menanamkan rasa takjub terhadap diri kita terhadap setiap lembar kehidupan. Dan juga dengan pemikiran yang selalu melambung ke angkasa untuk melampaui segala kedangkalan yang terdapat didalam kehidupan.
“Apa itu filsafat?” itulah pertanyaan pertama yang sering diajukan kepada mereka yang bergelut di ladang kearifan. Secara arti kata dan asal kata dari filsafat, filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Yang berakar dari bahasa Greek atau Yunani ”philoshophia”, Philos yang berati cinta dan shopos yang berati kebijakasanaan. Jadi secara gamblang filsafat dapat di artikan sebagai cinta kebijaksanaan.
Namun demikian menurut para ahli. orang yang telah malakukan perjalanan jauh dijalan filsafat akan tetap kesulitan untuk memberikan jawaban yang final. Mengapa demikian? pertama, filsafat merupakan kata kerja. Artinya kata kerja akan benar benar di pahami secara penuh jika seseorang telah melakukannya atau mengalaminya sendiri. Namun kita dapat melihat efek dari berfilsafat terdahap orang yang berfilsafat. Sebagai contoh orang yang berlari. Secara fisik kita dapat melihat efek dari berlari yaitu capek dari sikap setelah berlari. Tapi kita tidak benar benar mengetahui bagaimana persisnya pengalaman yang dialami si pelari tersebut.
Kedua, dari alasan pertama secara tersirat wacana tentang filsafat bukan sebatas wacana intelektual, pemikiran, konsep dan teori teori abstrak lainya. Namun lebih dari itu filsafat merupakan perenungan, penghayatan, pencarian tanpa henti dan pengembaraan kehidupan. Filsafat merupakan percumbuan dengan kehidupan, persentuhan, pengalaman dan pergumulan dengan sang Maha Cinta dan cinta itu sendiri. Sehingga dapat di artikan bahwa filsafat adalah seluruh rangkain episode pencarian anak Adam yang hanya akan terhenti oleh kematian
Philosophia, menurut tradisi Yunani kuno, kata philosophia pertama kali di gunakan oleh phythagoras untuk menyebut kegiatan pencarian manusia akan kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa dilakukan oleh manusia. Kebijaksanaan dan kebenaran yang utuh hanya ada pada yang Mahautuh. Manusia hanya bisa mendekati dan merasa puas dengan menyebut dirinya sebagai pencinta bukan sebagai pemilik kebijaksanaan dan kebenaran yang utuh. Dengan akal yang diberikan oleh sang Maha utuh manusia hanya bisa mendekatkan diri pada kebenaran utuh. Ia tidak akan pernah mampu mendapatkannya secara utuh dan sempurna sampai kapan pun.
Manusia bukanlah shopos, pemilik kebijaksanaan dan kebenaran utuh. Melainkan philoshopos, pencinta kebijaksanaan dan kebenaran utuh. Dengan demikian sebagai pencinta tentu ada yang dicari karena ia bukanlah pemilik dari shopos. Dengan demikian mencintai kebijaksanaan bukanlah sebuah situasi melainkan suatu aktivitas. Bukan pula sebuah pencapaian tetapi sebuah dambaan. Filsafat adalah sebuah dambaan, dambaan atau kerinduan hanya akan hadir apabila masih ada yang belum tuntas untuk digapai dan benar-benar ingin untuk di capai. Yang Mahaparipurna tidak mungkin mendamba. Karena sega;a sesuatunya telah ada dan utuh tanpa kekurangan. Namun manusia sebagai makhluk defisit senantiasa merasa kekurangan dan merindu. Karena masih ada rongga didalam dirinya yang belum terpenuhi. Perasaan kekurangan itu mengakibatkan manusia merasa tidak utuh dan tidak cukup.
Filsafat sebagai proses pencarian tanpa henti diatas panggung kehidupan selalu menghadirkan rasa ketidak puasan. Pencarian akan eksistenti Tuhan, alam semesta dan dirinya sendiri tidak akan pernah mencapai titik final. Tidak akan pernah memberikan pencapaian secara sempurna terhadap pencarian kebenaran. Oleh karena itu, orang yang berfilsafat harus rendah hati. Masih ada bentangan kearifan yang tak terpahami. Masih ada kebijaksanaan yang tersisa. Masih ada jejak makna yang belum tertapaki.
Bapak filsuf modern, Rene Descartes melontarkan sebuah adagium yang menunjukan kerendahan hati seseorang yang berfilsafat. ”segala hal yang aku ketahui adalah aku tidak mengetahui apapun”. Secara filsofis statement ini menunjukan kearifan dari sang filsuf yang saat itu tercermin dalam aktivitas kehidupannya. Sebuah makna tersirat yang ingin di sampaikan adalah dunia ini begitu luas dengan segala atribut didalamnya. Ada begitu banyak pintu untuk mencari sebuah kearifan. Namun dari banyaknya pintu itu tidak ada yang memeberikan jwabana final terdahap pencarian itu. begitu banyak wilayah masih belum bisa di jangkau. Masih banyak kebijaksanaan yang belum diserap. Masih banyak rongga yang belum terpahami. Dan masih banyak misteri yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Lukisan kerendahan hati menunjukan keautentikan seseorang yang telah berfilsafat. Bahwa setinggi apapun cakrawala pengetahuan yang diketahui. Bagaimana pun dalamnya samudra kearifan yang sudah diselami. Dan bagaimana pun luasnya semesta kebenaran yang telah di jelajahi. Namun masih ada yang jauh lebih tinggi, lebih dalam, dan lebih luas pengetahuan kearifan dan kebenaran yang belum diketahuinya. Sehingga seorang filsuf yang telah mencapai puncak kesadaran dan kearifan senantiasa membuka gerbang kearifan yang tak bertepi sehingga mereka terus menerus menjadi murid kehidupan di tengan tengah sekolah kehidupan.
Pertanyaan sederhana namun sangat filosofis yang patut dikaji dan ditanamkan dalam hati sebagai komposisi kontemplasi hidup. Dalam realita itulah manusia. Kita terjebak pada rutinistas yang senantiasa memerangkap kita untuk menjalani kehidupan yang dankal. Dari waktu ke waktu kita hanya terjebak pada rutinitas yang sama dari sebelumnya. Tidak ada perubahan. Tidak ada kemajuan. Tidak ada sesuatu yang baru.
Dari titik inilah filsafat mengajak untuk memberikan warna baru pad warna putih yang monoton. Sesuatu yang rutinitas biasanya merupakan sesuatu yang populer. Maka kita harus mampu memberikan corak baru pada sesuatu yang populer tersebut. Dengan apa? dengan berfilsafat. Kita harus memberikan sudut pandang yang baru pada rutinitas yang populer itu. Dengan menanamkan rasa takjub terhadap diri kita terhadap setiap lembar kehidupan. Dan juga dengan pemikiran yang selalu melambung ke angkasa untuk melampaui segala kedangkalan yang terdapat didalam kehidupan.
“Apa itu filsafat?” itulah pertanyaan pertama yang sering diajukan kepada mereka yang bergelut di ladang kearifan. Secara arti kata dan asal kata dari filsafat, filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Yang berakar dari bahasa Greek atau Yunani ”philoshophia”, Philos yang berati cinta dan shopos yang berati kebijakasanaan. Jadi secara gamblang filsafat dapat di artikan sebagai cinta kebijaksanaan.
Namun demikian menurut para ahli. orang yang telah malakukan perjalanan jauh dijalan filsafat akan tetap kesulitan untuk memberikan jawaban yang final. Mengapa demikian? pertama, filsafat merupakan kata kerja. Artinya kata kerja akan benar benar di pahami secara penuh jika seseorang telah melakukannya atau mengalaminya sendiri. Namun kita dapat melihat efek dari berfilsafat terdahap orang yang berfilsafat. Sebagai contoh orang yang berlari. Secara fisik kita dapat melihat efek dari berlari yaitu capek dari sikap setelah berlari. Tapi kita tidak benar benar mengetahui bagaimana persisnya pengalaman yang dialami si pelari tersebut.
Kedua, dari alasan pertama secara tersirat wacana tentang filsafat bukan sebatas wacana intelektual, pemikiran, konsep dan teori teori abstrak lainya. Namun lebih dari itu filsafat merupakan perenungan, penghayatan, pencarian tanpa henti dan pengembaraan kehidupan. Filsafat merupakan percumbuan dengan kehidupan, persentuhan, pengalaman dan pergumulan dengan sang Maha Cinta dan cinta itu sendiri. Sehingga dapat di artikan bahwa filsafat adalah seluruh rangkain episode pencarian anak Adam yang hanya akan terhenti oleh kematian
Philosophia, menurut tradisi Yunani kuno, kata philosophia pertama kali di gunakan oleh phythagoras untuk menyebut kegiatan pencarian manusia akan kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa dilakukan oleh manusia. Kebijaksanaan dan kebenaran yang utuh hanya ada pada yang Mahautuh. Manusia hanya bisa mendekati dan merasa puas dengan menyebut dirinya sebagai pencinta bukan sebagai pemilik kebijaksanaan dan kebenaran yang utuh. Dengan akal yang diberikan oleh sang Maha utuh manusia hanya bisa mendekatkan diri pada kebenaran utuh. Ia tidak akan pernah mampu mendapatkannya secara utuh dan sempurna sampai kapan pun.
Manusia bukanlah shopos, pemilik kebijaksanaan dan kebenaran utuh. Melainkan philoshopos, pencinta kebijaksanaan dan kebenaran utuh. Dengan demikian sebagai pencinta tentu ada yang dicari karena ia bukanlah pemilik dari shopos. Dengan demikian mencintai kebijaksanaan bukanlah sebuah situasi melainkan suatu aktivitas. Bukan pula sebuah pencapaian tetapi sebuah dambaan. Filsafat adalah sebuah dambaan, dambaan atau kerinduan hanya akan hadir apabila masih ada yang belum tuntas untuk digapai dan benar-benar ingin untuk di capai. Yang Mahaparipurna tidak mungkin mendamba. Karena sega;a sesuatunya telah ada dan utuh tanpa kekurangan. Namun manusia sebagai makhluk defisit senantiasa merasa kekurangan dan merindu. Karena masih ada rongga didalam dirinya yang belum terpenuhi. Perasaan kekurangan itu mengakibatkan manusia merasa tidak utuh dan tidak cukup.
Filsafat sebagai proses pencarian tanpa henti diatas panggung kehidupan selalu menghadirkan rasa ketidak puasan. Pencarian akan eksistenti Tuhan, alam semesta dan dirinya sendiri tidak akan pernah mencapai titik final. Tidak akan pernah memberikan pencapaian secara sempurna terhadap pencarian kebenaran. Oleh karena itu, orang yang berfilsafat harus rendah hati. Masih ada bentangan kearifan yang tak terpahami. Masih ada kebijaksanaan yang tersisa. Masih ada jejak makna yang belum tertapaki.
Bapak filsuf modern, Rene Descartes melontarkan sebuah adagium yang menunjukan kerendahan hati seseorang yang berfilsafat. ”segala hal yang aku ketahui adalah aku tidak mengetahui apapun”. Secara filsofis statement ini menunjukan kearifan dari sang filsuf yang saat itu tercermin dalam aktivitas kehidupannya. Sebuah makna tersirat yang ingin di sampaikan adalah dunia ini begitu luas dengan segala atribut didalamnya. Ada begitu banyak pintu untuk mencari sebuah kearifan. Namun dari banyaknya pintu itu tidak ada yang memeberikan jwabana final terdahap pencarian itu. begitu banyak wilayah masih belum bisa di jangkau. Masih banyak kebijaksanaan yang belum diserap. Masih banyak rongga yang belum terpahami. Dan masih banyak misteri yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Lukisan kerendahan hati menunjukan keautentikan seseorang yang telah berfilsafat. Bahwa setinggi apapun cakrawala pengetahuan yang diketahui. Bagaimana pun dalamnya samudra kearifan yang sudah diselami. Dan bagaimana pun luasnya semesta kebenaran yang telah di jelajahi. Namun masih ada yang jauh lebih tinggi, lebih dalam, dan lebih luas pengetahuan kearifan dan kebenaran yang belum diketahuinya. Sehingga seorang filsuf yang telah mencapai puncak kesadaran dan kearifan senantiasa membuka gerbang kearifan yang tak bertepi sehingga mereka terus menerus menjadi murid kehidupan di tengan tengah sekolah kehidupan.