Bertuhan Tanpa Agama
Salah satu tema
yang sering menjadi objek pembicaraan ialah mengenai masalah agama. Kehidupan
manusia yang tak terlepas dari berbagai perbedaan dan berujung pada konflik
berkepanjangan diawali dari masalah agama. Menurut sebagaian teoritikus agama adalah produk dari
budaya primitif. Namun bila dikaitkan dengan teori yang mengatakan bahwa agama
itu berasal dari tuhan, terjadi sebuah perbedaan. Padahal perbadaan tersebut
hanya terlihat pada bentuknya saja, tidak pada esensinya. karena semua agama
memiliki tujuan yang sama, yaitu “Tuhan”. Tapi karena para pengikutnya
yang memiliki pemahaman yang dangkal hingga melahirkan suatu perpecahan dan
berujung pada pertengkaran.
Berbicara mengenai
agama maka akan menjurus kepada persoalan keimanan atau keyakinan. Dimana
keimanan merupakan agenda pokok dalam ajaran agama yang selalu menuntut hal-hal
yang pasti dan mutlak. Dan kemutlakan dalam ajaran agama selalu bersifat
supernatural yang tidak terjangkau oleh kekuatan akal/rasio (nonempirik). Namun
kemutlakan yang irrasional tersebut tidak menjadi penghalang bagi para
agamawan. Manusia yang terlahir dalam lingkungan yang beragama secara otomatis
akan menganut agama tersebut tanpa sebuah proses pemikiran dan analisis. Dan
berujung pada fanatisme dan eksklusivisme beragama. Yang pada akhirnya
memunculkan sebuah hipotesa yang saling menkritisi dan menyalahkan antar umat. Dari
hipotesis tersebut lahir sebuah implikasi bahwa agama hanya merupakan paham
yang menuntun manusia pada konflik berkepanjangan.
Persoalan agama
tidak terlepas dari pembahasan masalah eskatologis, yang menjadi acuan manusia
dalam beribadah. Konsep ketuhanan, hari pembalasan, dan kematian merupakan
ajaran primer yang mesti diyakini kaum agamawan. Hari pembalasan kadang kala
menjadikan manusia bernostalgia pada keindahan taman surge, yang sangat
bertentangan dengan kehidupan duniawi yang penuh dengan bencana alam dan
penindasan. Terlepas dari masalah tersebut konsep ketuhanan merupakan hal
primordial dalam keyakinan agama. yang bila dianalisis dengan akal sehat Tuhan
terkesan berada di balik tabir dan meminta manusia untuk mencarinya. Sementara
itu manusia dari tahun ketahun, abad ke abad selalu mencari-Nya. Dan belum ada
yang menemukan-Nya. Ribuan tahun manusia berdialog, berantem, dan berperang
dalam sebuah kompetisi keagamaan untuk menemukan sebuah kebenaran tuhan.
Karena kompetisis
tersebut yang berlansung sepanjang sejarah, sehingga melahirkan berbagai
kelompok-kelompok yang mengaku memiliki tuhan, dekat dengan tuhan, menganggap ajarannya
yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain. Peristiwa ini akan terus
berkembang dan melahirkan kelompok hingga pada akhirnya stagnan pada satu titik
kepalsuan tanpa menemukan Tuhan. Karena pada dasarnya kelompok ini hanya
melihat dengan pandangan
sosialis-horizontal tanpa menengok kepada hubungan vertikalnya. Fenomena ini
mengilustrasikan bahwa tuhan merupakan hadiah didalam sebuah kompetisi. Yang
kuat dan hebatlah yang bersama tuhan dan yang lemah akan menjadi bulan-bulanan.
Pada akhirnya timbul sebuah hipotesa bahwa tuhan hanya sebagai kambing hitam
dari agama.
Secara intuitif
Tuhan yang menjadi tujuan hidup tidak berpihak kepada yang hebat atau yang
lemah. Namun Dia berada didalam jiwa-jiwa yang mampu menghadirkan dan
mengadakan Zat-Nya. Zat Tuhan akan terasa bila kemampuan manusia dalam
ber-Takhalli, tahalli, dan tajalli dilakukan dengan sempurna. Ibarat sebuah
cahaya senter yang diarahkan kepada cahaya matahari, penyatuan cahaya tersebut
merupakan analogi dari penyatuan ke-aku-an kami tanpa ikatan agama apapun dan
hanya terikat oleh kekuatan “kita” diatas singgasana kerajaan langit dan
bumi.