Mencapai
tingkat tertinggi akal dengan kebiasaan.
komunitas Homo sapiens sedang membakar sumber: www.emilosilveravazcues.com |
Dalam sejarah eksistensi manusia ditilik dari
ukuran wahyu. Manusia pertama kali turun ke bumi dari surga sebagai seorang
khalifah. Adam nama homo sapiens pertama itu bersama perempuan dari tulang
rusuknya yakni Hawa. Mengawali kehidupan berjuta-juta homo di muka bumi yang
hijau nan tandus.
Namun dari kaca mata evolusi Darwin yang populer
di kenal dengan nama teori Darwin mengatakan “ manusia tercipta dari proses
evolusi” manusia adalah spesies yang berawal dari hewan berbulu yang mamalia
dan berlibido Omnivora. Hingga akhirnya proses evolusi terakhir. Menuju pada
manusia yang sekarang ini.
Dari dua teori ini kita bisa menarik benang tengah
sebagai kesimpulan bahwa dari teori manapun mereka berujung pada sebutan “
manusia berakal” sebagaimana yang disebutkan oleh Aristoteles “ manusia adalah
spesies binatang yang berakal”.
Akal merupakan alat yang paling penting yang harus
dimiliki seorang manusia. Dia terletak pada dua buah otak yang bersarang pada
lindungan tengkorak kepala. Akal adalah pusat dari semua pergerakan manusia. Pusat
dari eksistensi manusia. Dan menjadi modal bag manusia untuk berpolitik dan
menguasai dunia. Maka jika manusia membunuh akalnya. Maka akan matilah seluruh
kehidupannya.
Kita kembali kepada adagium “ala bisa karena biasa”.
Esensi yang dapat membisakan biasa itu adalah akal. Jika kita terbang ke masa
lalu. Ke nenek moyang kita yang adalah manusia berbulu telah memiliki akal. Namun
potensi akal mereka masih berkisar di kisaran 5% kerja otak.
Dari potensi akal 5% inilah . manusia kuno
membisakan dirinya lewat kebiasaan. Contoh kasusnya adalah membuat api . lewat
kebiasaan, akal mereka terpakai. Jika kita menggosokkan dua buah batu dengan
arah berlawanan maka akan menghasilkan percikan api yang mengawali munculnya api
yang lebih besar. tentu saja cara ini tidak akan berhasil dengan hanya sekali
percobaan saja. manusia kuno sudah menerapkan adagium “ Ala bisa karena biasa”.
Lalu kita masuk ke pintu kemana saja menuju pada
era di mana banyak penemuan-penemuan yang mengawali era modern. Sebut saja
Thomas Alva Edison. Dengan potensi akalnya yang terpakai hingga melewati 10%. Beliau
membiasakan dirinya melakukan percobaan dalam menciptakan sebuah bohlam lampu. Hingga
katanya dari 99 “kebiasaan” dilakukannya barulah yang di angka 100 lah Thomas
Alva Edison menjadi “Bisa”.
Kebiasaan pada proses kebiasaan di dukung oleh
proses otak. Manusia yanga dalah makhluk yag berotak paling terstruktur
memiliki potensi diatas makhluk lainnya. Bahkan seorang manusia dapat membisakan
kebiasaan pada proses kerja otak hingga mencapai 100% melebihi kerja otak
Lumba-lumba yang mencapai 20%.
Namun “ala bisa karena biasa” akan membuat manusia
melewati batasnya. Otak manusia mesti di biasakan bekerja sampa mendekati
batasnya hingga terus naik pada level tertingginya, pada angka 100%.
Wajar saja jika kita mengatakan bahwa angka 100%
itu adalah sebuah kemustahilan karena jika manusia memaksakan otaknya bekerja
pada batas diatas 10 % maka cenderung otak akan mengalami konflik. Namun sekali
lagi adagium”ala bisa karena biasa” akan
menabrak kemustahilan itu, karena kekuatan terbesar manusia adalah
kebiasaannya. Seorang petani misalnya dapat menjadi ahli Botani jika di
biasakan. Seorang atlit bulu tangkis dapat meraih medali emas pada cabang
sepakbola jika di biasakan. Seorang Preman dapat menjadi sufi jika di biasakan.
Dan seorang pemberontak dapat menjadi Presiden jika ia membiasakan dirinya.
Kebiasaan adalah kekuatan terbesat yang di miliki
oleh homo sapiens. Di luar kekuatan-kekuatan yang tersebar di dalam dan di luar
diri manusia maka konsep adagium “Ala bisa karena biasa” menjadi ala untuk
mengungkap esensi manusia, dengan membiasakan akal berpikir akan dirinya,
mempekerjakan otak untuk menyelam kedalamnya. Dengan kebiasaan akan
tersingkaplah diri manusia itu.
Heidegger pernah berkata bahwa diri manusia adalah
manusia yang autentik. Manusia yang autentik adalah manusia yang bereksistensi
karena dirinya. Bukan diri orang lain. Dengan kebiasaan untuk mengautentikkan
diri. maka manusia bisa mengenal hakikat dirinya. Sebagaimana pula mulut Hawking
pernah berkata “ siapa yang bertanya pada dirinya dengan pertanyaan siapa aku? Dari
manakah aku maka ia akan bertemu dengan diriNya. Al farabi si pangeran Filsafat
islam itu pun juga berucap “ ada tuhan di dalam diri manusia”.
Maka sekali lagi saya ulangi. Kekuatan terbesar
yang kita miliki sebagai makhluk Homo Sapiens yang berotak, berakal dan beradab
adalah proses untuk membiasakan. Maka biasakanlah diri kita untuk menjadi
philoshopien. Maka akan tersaksikan sebuah penampakan eksisitensi yang
menakjubkan.