Senin, 14 September 2015

filsafat manusia. (mengungkap kekuatan terhebat dari seorang manusia)

Mencapai tingkat tertinggi akal dengan kebiasaan.
kebiasaan manusia
komunitas Homo sapiens sedang membakar
sumber: www.emilosilveravazcues.com

Ada sebuah adagium yang seringkali terdengar oleh gendang telinga dan hanya bukan sekedar menjadi adagium saja. tapi ternyatakan pada eksistensi pergerakan waktu individu homo sapiens di kehidupan sosialnya. Adagium itu adalah “Ala bisa karena biasa”. Sebuah adagium yang terdengar kuno. Namun ada sebuah esensi mempesona yang dapat di petik dari adagium ini.
Dalam sejarah eksistensi manusia ditilik dari ukuran wahyu. Manusia pertama kali turun ke bumi dari surga sebagai seorang khalifah. Adam nama homo sapiens pertama itu bersama perempuan dari tulang rusuknya yakni Hawa. Mengawali kehidupan berjuta-juta homo di muka bumi yang hijau nan tandus.
Namun dari kaca mata evolusi Darwin yang populer di kenal dengan nama teori Darwin mengatakan “ manusia tercipta dari proses evolusi” manusia adalah spesies yang berawal dari hewan berbulu yang mamalia dan berlibido Omnivora. Hingga akhirnya proses evolusi terakhir. Menuju pada manusia yang sekarang ini.
Dari dua teori ini kita bisa menarik benang tengah sebagai kesimpulan bahwa dari teori manapun mereka berujung pada sebutan “ manusia berakal” sebagaimana yang disebutkan oleh Aristoteles “ manusia adalah spesies binatang yang berakal”.
Akal merupakan alat yang paling penting yang harus dimiliki seorang manusia. Dia terletak pada dua buah otak yang bersarang pada lindungan tengkorak kepala. Akal adalah pusat dari semua pergerakan manusia. Pusat dari eksistensi manusia. Dan menjadi modal bag manusia untuk berpolitik dan menguasai dunia. Maka jika manusia membunuh akalnya. Maka akan matilah seluruh kehidupannya.
Kita kembali kepada adagium “ala bisa karena biasa”. Esensi yang dapat membisakan biasa itu adalah akal. Jika kita terbang ke masa lalu. Ke nenek moyang kita yang adalah manusia berbulu telah memiliki akal. Namun potensi akal mereka masih berkisar di kisaran 5% kerja otak.
Dari potensi akal 5% inilah . manusia kuno membisakan dirinya lewat kebiasaan. Contoh kasusnya adalah membuat api . lewat kebiasaan, akal mereka terpakai. Jika kita menggosokkan dua buah batu dengan arah berlawanan maka akan menghasilkan percikan api yang mengawali munculnya api yang lebih besar. tentu saja cara ini tidak akan berhasil dengan hanya sekali percobaan saja. manusia kuno sudah menerapkan adagium “ Ala bisa karena biasa”.
Lalu kita masuk ke pintu kemana saja menuju pada era di mana banyak penemuan-penemuan yang mengawali era modern. Sebut saja Thomas Alva Edison. Dengan potensi akalnya yang terpakai hingga melewati 10%. Beliau membiasakan dirinya melakukan percobaan dalam menciptakan sebuah bohlam lampu. Hingga katanya dari 99 “kebiasaan” dilakukannya barulah yang di angka 100 lah Thomas Alva Edison menjadi “Bisa”.
Kebiasaan pada proses kebiasaan di dukung oleh proses otak. Manusia yanga dalah makhluk yag berotak paling terstruktur memiliki potensi diatas makhluk lainnya. Bahkan seorang manusia dapat membisakan kebiasaan pada proses kerja otak hingga mencapai 100% melebihi kerja otak Lumba-lumba yang mencapai 20%.
Namun “ala bisa karena biasa” akan membuat manusia melewati batasnya. Otak manusia mesti di biasakan bekerja sampa mendekati batasnya hingga terus naik pada level tertingginya, pada angka 100%.
Wajar saja jika kita mengatakan bahwa angka 100% itu adalah sebuah kemustahilan karena jika manusia memaksakan otaknya bekerja pada batas diatas 10 % maka cenderung otak akan mengalami konflik. Namun sekali lagi adagium”ala bisa karena biasa”  akan menabrak kemustahilan itu, karena kekuatan terbesar manusia adalah kebiasaannya. Seorang petani misalnya dapat menjadi ahli Botani jika di biasakan. Seorang atlit bulu tangkis dapat meraih medali emas pada cabang sepakbola jika di biasakan. Seorang Preman dapat menjadi sufi jika di biasakan. Dan seorang pemberontak dapat menjadi Presiden jika ia membiasakan dirinya.
Kebiasaan adalah kekuatan terbesat yang di miliki oleh homo sapiens. Di luar kekuatan-kekuatan yang tersebar di dalam dan di luar diri manusia maka konsep adagium “Ala bisa karena biasa” menjadi ala untuk mengungkap esensi manusia, dengan membiasakan akal berpikir akan dirinya, mempekerjakan otak untuk menyelam kedalamnya. Dengan kebiasaan akan tersingkaplah diri manusia itu.
Heidegger pernah berkata bahwa diri manusia adalah manusia yang autentik. Manusia yang autentik adalah manusia yang bereksistensi karena dirinya. Bukan diri orang lain. Dengan kebiasaan untuk mengautentikkan diri. maka manusia bisa mengenal hakikat dirinya. Sebagaimana pula mulut Hawking pernah berkata “ siapa yang bertanya pada dirinya dengan pertanyaan siapa aku? Dari manakah aku maka ia akan bertemu dengan diriNya. Al farabi si pangeran Filsafat islam itu pun juga berucap “ ada tuhan di dalam diri manusia”.

Maka sekali lagi saya ulangi. Kekuatan terbesar yang kita miliki sebagai makhluk Homo Sapiens yang berotak, berakal dan beradab adalah proses untuk membiasakan. Maka biasakanlah diri kita untuk menjadi philoshopien. Maka akan tersaksikan sebuah penampakan eksisitensi yang menakjubkan.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon