Jumat, 18 September 2015

Saat Islam hanya menjadi pajangan.

Saat Islam hanya menjadi pajangan


Hari ini saya bersedih, karena islam hilang di dalam diri ummatnya. Jam 10 malam jum’at, 17 september 2015. Aku mengadu kepada Tuhan kirimkan kami bala atas perbuatan kami.

Seorang lelaki di tuduh menjadi pencuri. Setelah di pukuli secara berjamaah lelaki tersebut sekarat atau di ambang kematian. Dan saya berdoa masukkan dia kedalam surga Mu. Dan masukkan kami kedalam neraka MU.

Islam sekali lagi kini hanya menjadi pajangan formalitas. Di peristiwa itu yang di pukuli dan memukuli adalah sama-sama Islam, jika pun tidak. Saya yakin se yakin-yakinnya bahwa kita sama-sama adalah manusia. Dan tentunya kita lebih baik dari pada syaitan. Dan ironisnya tempat pemukulan di lakukan pas di depan masjid. Tempat kita sholat, tempat kita membaikkan diri. dan tempat yang seharusnya memanusiakan manusia. Namun peristiwa kemarin menunjukkan bahwa masjid hanya menjadi tempat pesinggahan lima waktu saja sehari semalam setelah keluar dari pintu masjid kita menjadi syaitan yang di laknat. Kita telah melupakan Tuhan. Kita berbuat dosa di depan rumah Tuhan. Di manakah manusianya kita.

Perlu kita saling mengingatkan. Pencurian atau pun pembegalan adalah perilaku yang salah. Dan yang salah mesti di luruskan. Tetapi cara kita meluruskan adalah dengan cara yang salah. Pencuri di hukum dengan cara di pukuli secara massa. Salah diselesaikan dengan cara yang salah juga. Maka tidak ada kebenaran. Perbuatan yang salah tetap salah. Tetapi memaafkan harus diatas segalanya. Yah memang benar. Kita akan kehilangan harta. Tapi tanyakan kepada “Tau” yang ada dalam diri kita. Manakah yang benar, kehilangan harta atau menghilangkan nyawa orang lain?.

Peristiwa pemukulan malam ini juga menunjukkan kepada saya bahwa orang yang hitam ( jahat ) telah mendominasi yang putih. Satu berbanding sepuluh. Satu orang yang merasa kasihan melerai dan sepuluh orang yang tidak kasihan datang memukuli dan melempar dengan batu. Sungguh ironis sekali.

Sekarang pertanyaannya. Apakah islam mengajarkan seperti itu.? Dan jika kita tidak ingin di sebut islam. Apakah budaya Makassar mengajarkan juga seperti itu.?

Islam tidak mengajarkan seperti itu. Pelaku pencurian hukumannya bukanlah di bunuh ataupun di pukuli secara massal. Begitupun juga dengan budaya Makassar yang menjunjung kata “SI paka Tau” kita ingin membunuh seorang manusia yang hanya mencuri motor seharga jutaan saja. dimanakah letak “si paka tau” itu.  Atau kita tidak mau lagi di sebut islam atapun Makassar. Lalu kita mau disebut dengan sebutan apa. Setahu saya yang menyiksa sampai membunuh, berbuat sesuatu yang berlebih-lebihan adalah kaum Kafir Quraisy. Maukah kita disebut kafir Quraisy. Tentu saja tidak.

Lucu dan ironisnya lagi. Peristiwa pemukulan massa disaksikan bahkan di lakukan oleh anak-anak yang masih berpantat biru. Mereka berteriak. “ bunuh saja, bakar saja” dan kata-kata provokator yang lebih kotor lainnya. Saya sangat khawatir bagaimana wajah masa depan bangsa kita. Jika mereka si anak-anak berpantat biru ini tumbuh dengan mental kekerasan seperti itu. Maka hancurlah bangsa kita. Hancurlah negeri ini. Apa yang terjadi di suriah dan negara konflik lainnya akan ikut menimpa negeri kita. Kita tidak hanya kehilangan harta tapi kehilangan segala-galanya. Dan itu lebih kejam.

Sedihnya lagi. Si orang dewasa yang seharusnya memberi contoh kepada anak-anaknya malah menjadi harimau yang buas. Melayangkan tangannya seperti tak lagi bertulang. Melempar batu seolah yang di lempari adalah buah mangga. Padahal di depannya itu adalah manusia yang akan bertemu dengan kita di akhirat nanti dan sama-sama kita menghadap Tuhan. Tidak ada bedanya kita dengan pencuri itu. Kita akan sama di sisi Tuhan.

Saya pikir peristiwa ini menjadi pelajaran untuk kita. Bahwa mencuri itu sangat salah. Dan menghukum pencuri itu dengan memukuli bahkan membakar juga adalah perbuatan yang salah. Yang benar adalah memukuli pencuri itu bukan pada fisiknya tapi batinnya. Karena secara psikologinya. Manusia berbuat jahat karena “Tau” atau Jiwa” yang ada dalam dirinya sedang sakit.


Dan saya berharap jika peristiwa ini kembali terjadi. Semua diserahkan kepada tokoh masyarakat dan kepolisian. Masyarakat hanya harus terus mengawasi kinerja mereka. Jika kita mau pencuri di hukum mati. Maka ubahlah isi Al-Qur’an dan UU.  Itu tidak akan mungkin. Tapi mungkin saja jika kita sudah merasa diri kita ini adalah bukan manusia. Camkan saudara-saudara.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon