Saat Islam hanya
menjadi pajangan
Hari ini saya bersedih, karena islam hilang di
dalam diri ummatnya. Jam 10 malam jum’at, 17 september 2015. Aku mengadu kepada
Tuhan kirimkan kami bala atas perbuatan kami.
Seorang lelaki di tuduh menjadi pencuri. Setelah
di pukuli secara berjamaah lelaki tersebut sekarat atau di ambang kematian. Dan
saya berdoa masukkan dia kedalam surga Mu. Dan masukkan kami kedalam neraka MU.
Islam sekali lagi kini hanya menjadi pajangan
formalitas. Di peristiwa itu yang di pukuli dan memukuli adalah sama-sama Islam,
jika pun tidak. Saya yakin se yakin-yakinnya bahwa kita sama-sama adalah
manusia. Dan tentunya kita lebih baik dari pada syaitan. Dan ironisnya tempat
pemukulan di lakukan pas di depan masjid. Tempat kita sholat, tempat kita
membaikkan diri. dan tempat yang seharusnya memanusiakan manusia. Namun
peristiwa kemarin menunjukkan bahwa masjid hanya menjadi tempat pesinggahan
lima waktu saja sehari semalam setelah keluar dari pintu masjid kita menjadi
syaitan yang di laknat. Kita telah melupakan Tuhan. Kita berbuat dosa di depan
rumah Tuhan. Di manakah manusianya kita.
Perlu kita saling mengingatkan. Pencurian atau pun
pembegalan adalah perilaku yang salah. Dan yang salah mesti di luruskan. Tetapi
cara kita meluruskan adalah dengan cara yang salah. Pencuri di hukum dengan
cara di pukuli secara massa. Salah diselesaikan dengan cara yang salah juga.
Maka tidak ada kebenaran. Perbuatan yang salah tetap salah. Tetapi memaafkan
harus diatas segalanya. Yah memang benar. Kita akan kehilangan harta. Tapi
tanyakan kepada “Tau” yang ada dalam diri kita. Manakah yang benar, kehilangan
harta atau menghilangkan nyawa orang lain?.
Peristiwa pemukulan malam ini juga menunjukkan
kepada saya bahwa orang yang hitam ( jahat ) telah mendominasi yang putih. Satu
berbanding sepuluh. Satu orang yang merasa kasihan melerai dan sepuluh orang
yang tidak kasihan datang memukuli dan melempar dengan batu. Sungguh ironis
sekali.
Sekarang pertanyaannya. Apakah islam mengajarkan
seperti itu.? Dan jika kita tidak ingin di sebut islam. Apakah budaya Makassar
mengajarkan juga seperti itu.?
Islam tidak mengajarkan seperti itu. Pelaku
pencurian hukumannya bukanlah di bunuh ataupun di pukuli secara massal.
Begitupun juga dengan budaya Makassar yang menjunjung kata “SI paka Tau” kita
ingin membunuh seorang manusia yang hanya mencuri motor seharga jutaan saja.
dimanakah letak “si paka tau” itu. Atau
kita tidak mau lagi di sebut islam atapun Makassar. Lalu kita mau disebut
dengan sebutan apa. Setahu saya yang menyiksa sampai membunuh, berbuat sesuatu
yang berlebih-lebihan adalah kaum Kafir Quraisy. Maukah kita disebut kafir
Quraisy. Tentu saja tidak.
Lucu dan ironisnya lagi. Peristiwa pemukulan massa
disaksikan bahkan di lakukan oleh anak-anak yang masih berpantat biru. Mereka
berteriak. “ bunuh saja, bakar saja” dan kata-kata provokator yang lebih kotor
lainnya. Saya sangat khawatir bagaimana wajah masa depan bangsa kita. Jika
mereka si anak-anak berpantat biru ini tumbuh dengan mental kekerasan seperti
itu. Maka hancurlah bangsa kita. Hancurlah negeri ini. Apa yang terjadi di
suriah dan negara konflik lainnya akan ikut menimpa negeri kita. Kita tidak
hanya kehilangan harta tapi kehilangan segala-galanya. Dan itu lebih kejam.
Sedihnya lagi. Si orang dewasa yang seharusnya
memberi contoh kepada anak-anaknya malah menjadi harimau yang buas. Melayangkan
tangannya seperti tak lagi bertulang. Melempar batu seolah yang di lempari
adalah buah mangga. Padahal di depannya itu adalah manusia yang akan bertemu
dengan kita di akhirat nanti dan sama-sama kita menghadap Tuhan. Tidak ada
bedanya kita dengan pencuri itu. Kita akan sama di sisi Tuhan.
Saya pikir peristiwa ini menjadi pelajaran untuk
kita. Bahwa mencuri itu sangat salah. Dan menghukum pencuri itu dengan memukuli
bahkan membakar juga adalah perbuatan yang salah. Yang benar adalah memukuli
pencuri itu bukan pada fisiknya tapi batinnya. Karena secara psikologinya.
Manusia berbuat jahat karena “Tau” atau Jiwa” yang ada dalam dirinya sedang
sakit.
Dan saya berharap jika peristiwa ini kembali
terjadi. Semua diserahkan kepada tokoh masyarakat dan kepolisian. Masyarakat
hanya harus terus mengawasi kinerja mereka. Jika kita mau pencuri di hukum
mati. Maka ubahlah isi Al-Qur’an dan UU.
Itu tidak akan mungkin. Tapi mungkin saja jika kita sudah merasa diri
kita ini adalah bukan manusia. Camkan saudara-saudara.