Jumat, 11 September 2015

Monoton di Dalam Stagnasi Pemikiran

Kehidupan Monoton Produk kemalasan berfikir

            Adalah suatu hal yang mustahil apabila kapal berlayar tanpa seorang nahkoda, seperti halnya zaman yang lahir dari individu-individu didalam jajaran garis kekitaan. Manusia memang elemen yang mengendalikan dan membentuk zaman dan berbgai variasinya, namun apa jadinya jika zaman  yang membentuk manusia? tanpa disadari manusia sudah terbelenggu oleh keadaan zaman yang plural dan variatif.

            Seiring dengan perkembangannya,  himpitan terhadap pemikiran manusia akan semakin  besar. Pada mulanya manusia hanya memikirkan cara untuk menutup kamaluannya dan mengisi perut untuk menutupi rasa dahaganya. Kemungkinan berpikir mengenai dirinya yang otentik lebih besar yang pada gilirannya secara perlahan dia akan mengetahui keakuannya yang hakiki. Namun karena tuntutan zaman yang terus melakukan evolusi dan perubahan dari waktu ke waktu,  pada akhirnya akan sangat mempengaruhi pola pikir manusia, sehingga pemikiran kerap kali diwarnai oleh hal-hal yang berbau material, lebih menyukai bentuk ragawi ketimbang subtansial yang berujung pada kecintaan kolektif. Manusia memang begitu adanya, lahir dan terdidik dalam lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan sosial-kultural, sosial-historis, dan sosial-psikologis. Pada  gilirannya akan mencetak generasi yang terikat pula dengan ketiganya, sehingga pemikirann akan terbelenggu dalam lingkaran, dimana titik pusat lingkaran itu tidak akan kita temukan.


            Warna-warni kehidupan suatu keniscayaan. Hitam,putih, remang-remang, kelabu adalah variasi kehidupan agar manusia tidak jemu menjalaninya, meskipun begitu manusia merupakan ciptaan yang sempurna yang dalam al-quran dikabarkan sebagai khalifah (wali tuhan) yang memiliki akal untuk memilih dan memilah didalam pluralisme. Memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya didalam dualisme kehidupan. Kehidupan yang ideal secara otomatis mengilustrasikan bahwa manusia menggunakan akal dan kebebasannya dengan sempurna. Memang  manusia memiliki akal dan kebebasan, tapi, mengapa sikap, perilaku, kebiasaan, kultus, ideology,  dan paradigma manusia itu monoton?, mengapa makanan yang dikonsumsi para pendahulu, turut kita konsumsi? Itulah putaran roda kehidupan yang menjadi kenyataan. apakah manusia akan terus ikut dalam putaran tersebut?, termakan oleh dogma-dogma yang sudah basi?. Seperti daun yang hanya mengikuti aliran sungai, pasrah terhadap keadaan. Apabila daun itu tersangkut, seperti itulah manusia yang terikat oleh ideology-ideologi yang dia pegang. Namun ketika pegangannya terlepas maka dia akan terbawa lagi oleh aliran sungai itu. Yang pada akhirnya akan terombang-ambing ditengah lautan, kesana kemari hanya akan menemukan sebuah kekosongan dan kebimbangan, entah kemana akan berlabuh. Atau mungkin stagnasi didalam guncangan menunggu guncangan yang lebih besar.


            Penggunaan akal yang sehat akan menjadi pegangan yang kuat. Pemikiran cemerlang bermuara pada kehidupan yang terang. Pengaruh sejarah adalah suatu hal yang mesti kita terima, namun sikap kritis suatu tuntutan sebagai makhluk berakal. Sebagai sebuah objek yang mengikuti arus, manusia harus mengetahui bahwa dia berada dimana. Karena aliran sungai yang panjang akan melewati beberapa kampung/desa yang pada  akhirnya  terhenti dilautan yang luas dengan berbagai goncangan. Dimana objek itu akan lenyap didalam kekosongan. Sikap kritis merupakan hal yang mutlak didalam relativitas kehidupan demi tercapainya kebanaran absolute, yang akan menghantarkan kita menuju titik pusat, terbebas dari dogma–dogma imajiner. 

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon