Kehidupan Monoton Produk kemalasan berfikir
Adalah suatu hal
yang mustahil apabila kapal berlayar tanpa seorang nahkoda, seperti halnya
zaman yang lahir dari individu-individu didalam jajaran garis kekitaan. Manusia
memang elemen yang mengendalikan dan membentuk zaman dan berbgai variasinya,
namun apa jadinya jika zaman yang
membentuk manusia? tanpa disadari manusia sudah terbelenggu oleh keadaan zaman
yang plural dan variatif.
Seiring dengan
perkembangannya, himpitan terhadap
pemikiran manusia akan semakin besar.
Pada mulanya manusia hanya memikirkan cara untuk menutup kamaluannya dan
mengisi perut untuk menutupi rasa dahaganya. Kemungkinan berpikir mengenai
dirinya yang otentik lebih besar yang pada gilirannya secara perlahan dia akan
mengetahui keakuannya yang hakiki. Namun karena tuntutan zaman yang terus
melakukan evolusi dan perubahan dari waktu ke waktu, pada akhirnya akan sangat mempengaruhi pola
pikir manusia, sehingga pemikiran kerap kali diwarnai oleh hal-hal yang berbau
material, lebih menyukai bentuk ragawi ketimbang subtansial yang berujung pada
kecintaan kolektif. Manusia memang begitu adanya, lahir dan terdidik dalam
lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan sosial-kultural, sosial-historis,
dan sosial-psikologis. Pada gilirannya akan
mencetak generasi yang terikat pula dengan ketiganya, sehingga pemikirann akan
terbelenggu dalam lingkaran, dimana titik pusat lingkaran itu tidak akan kita
temukan.
Warna-warni
kehidupan suatu keniscayaan. Hitam,putih, remang-remang, kelabu adalah variasi
kehidupan agar manusia tidak jemu menjalaninya, meskipun begitu manusia
merupakan ciptaan yang sempurna yang dalam al-quran dikabarkan sebagai khalifah
(wali tuhan) yang memiliki akal untuk memilih dan memilah didalam pluralisme.
Memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya didalam dualisme kehidupan.
Kehidupan yang ideal secara otomatis mengilustrasikan bahwa manusia menggunakan
akal dan kebebasannya dengan sempurna. Memang
manusia memiliki akal dan kebebasan, tapi, mengapa sikap, perilaku,
kebiasaan, kultus, ideology, dan
paradigma manusia itu monoton?, mengapa makanan yang dikonsumsi para pendahulu,
turut kita konsumsi? Itulah putaran roda kehidupan yang menjadi kenyataan.
apakah manusia akan terus ikut dalam putaran tersebut?, termakan oleh dogma-dogma
yang sudah basi?. Seperti daun yang hanya mengikuti aliran sungai, pasrah
terhadap keadaan. Apabila daun itu tersangkut, seperti itulah manusia yang
terikat oleh ideology-ideologi yang dia pegang. Namun ketika pegangannya
terlepas maka dia akan terbawa lagi oleh aliran sungai itu. Yang pada akhirnya
akan terombang-ambing ditengah lautan, kesana kemari hanya akan menemukan
sebuah kekosongan dan kebimbangan, entah kemana akan berlabuh. Atau mungkin
stagnasi didalam guncangan menunggu guncangan yang lebih besar.
Penggunaan akal
yang sehat akan menjadi pegangan yang kuat. Pemikiran cemerlang bermuara pada
kehidupan yang terang. Pengaruh sejarah adalah suatu hal yang mesti kita
terima, namun sikap kritis suatu tuntutan sebagai makhluk berakal. Sebagai sebuah
objek yang mengikuti arus, manusia harus mengetahui bahwa dia berada dimana.
Karena aliran sungai yang panjang akan melewati beberapa kampung/desa yang
pada akhirnya terhenti dilautan yang luas dengan berbagai
goncangan. Dimana objek itu akan lenyap didalam kekosongan. Sikap kritis
merupakan hal yang mutlak didalam relativitas kehidupan demi tercapainya
kebanaran absolute, yang akan menghantarkan kita menuju titik pusat, terbebas
dari dogma–dogma imajiner.