Sabtu, 19 September 2015

Mengatasi begal dengan meMakassarkan moral Sipakatau



Makassar dalam sejarahnya, adalah tanah pelaut yang sabar dan ramah. Harga dirinya begitu tinggi. Hingga mengharamkan orang lain dan dirinya untuk menyentuh kepala. Bagi orang Bugis Makassar, kepala adalah nama lain dari harga diri.

Sebagaimana dalam sebuah wacana metafora filosofis mengenai makna Tau yang substansi.
“Antu nikanayya tau akrupa-rupai. Niak tau, tau tojeng, niak tau, poro tau. Niak tau , akkanaji na tau”. (manusia itu bermacam-macam. Ada manusia, benar-benar manusia. Ada manusia sekedar manusia. Ada manusia dikatakan manusia karena ia dapat berbicara).

Metafora ini bisa dijelaskan secara harfiah, bahwasanya manusia yang berkepala atau mempunyai kepala adalah manusia yang sebenarnya manusia, manusia yang bermanusia. Sedangkan manusia yang bersetengah kepala adalah “poro tau” hanya manusia. Dan manusia yang tak berkepala adalah “akkanaji na tau”.

Pada saat ini. Makassar sedang di huni oleh mayoritas manusia “poro tau” dan manusia yang “akkanaji na tau”. Bahkan saat ini para daeng banyak sudah kehilangan kepala. Adalah sebuah pemandangan yang horor melihat manusia-manusia Makassar berjalan tanpa kepala.

Apa yang menyebabkan “Tau tojeng” serasa hilang dari panggung Losari. Dan hanya biduan-biduan “Poro Tau dan akkkanaji na tau” yang berjoget hingga mabuk dan setelah mabuk Mereka melupakan “SipakaTau” dan merubahnya menjadi “sipaka rupa tau”.

“Makassar Tidak aman” kampanye horor itu bergema di setiap sudut kota daeng yang sedang ingin menjadi kota dunia. Kampanye yang menghadirkan sebuah paradoks dimana Makassar sedang sibuk mengindahkan sebuah benda tak bergerak tetapi lupa mengindahkan sebuah benda yang bergerak. Kita sibuk membangun gedung pencakar langit sedangkan manusianya terus terpuruk hingga “Tau”nya tenggelam pada “Rupa Tau”.

Begal. Saat ini menjadi kata populer yang di perbincangkan oleh khalayak. Begal adalah perbuatan asusila yang menusuk “Rupa Tau” dan “Tau” atau sebuah tindakan yang membanting moral dengan melukai “rupa Tau” dan “tau”nya orang lain.

Pelaku begal dalam hal ini penulis golongkan sebagai “akkanaji na Tau”. Atau pelaku begal adalah manusia yang sudah kehilangan kepalanya sehingga tidak pantas lagi dikatakan sebagai manusia. Meski ia (pelaku begal) ini melakukan perbuatan kriminalnya dengan alasan mendapatkan kepala atau untuk membesarkan kepalanya.

Begal secara epitimologi, menurut KBBI begal di artikan sebagai “penyamun”, membegal “ merampas di jalan”. Pembegalan “proses,cara, yang menakuti masyarakat untuk jalan berpergian di malam hari”.

Dan dalam pandangan NU. Begal di golongkan sebagai dosa besar dengan dasar al-Maidah ayat 33 dengan hukuman di bunuh, di salib, potong tangan dan kaki secara bersilangan dan paling rendah adalah penjara.

Begal sudah ada sejak zaman generasi pencetus dan peralihan. Seharusnya menjadi pembahasan yang sudah biasa. Namun begal menjadi popoler lagi karena pelaku begal mayoritas adalah generasi penerus yang amatlah mengiris hati. Anak muda yang masih berpantat biru memegang senjata dan mengancam “rupa Tau” bahkan mereka tak segan melukai. Ini tentunya mengusik “Taunya” kita karena mereka seharusnya menjadi “Tukang Bangunan” yang merekontruksi bangunan peradaban.

Dalam pengamatan liar penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan manusia yang berpantat biru ini melakukan pelacuran “ Tau”.

1.       Narkoba

Narkoba memang sudah menjadi musuh abadi umat manusia. Di mana jika barang hina ini di konsumsi orang akan lupa “tau dan rupa tau” bahkan “taunya tau” seakan dibunuhnya. Narkoba akan membuat pemakainya menjadi berani untuk membunuh “rupa tau” dengan sangat sadis.
Remaja secara psikologinya adalah kurun waktu di mana manusia ingin menunjukkan dirinya bahwa dia ada dan ingin di anggap ada. dalam usahanya untuk meng ada kan dirinya. Sebagian remaja berpikir pendek dengan melakukan sesuatu di luar kebiasaan yang melanggar norma.
Narkoba, barang hina dina itu jika di pertemukan dengan remaja yang “Taunya” rapuh maka ia akan menjadi “HULK” tokoh fiksi penghancur yang tidak bisa membedakan yang baik dan buruk lagi. Maka haruslah di bangun “tembok Cina” diantara anak muda dan Narkoba untuk mencegah terjadinya perbuatan Kriminal.

2.       Remaja yang masih labil

Pada kaca mata penulis yang masih tergolong remaja yang punya empiris mengenai pembegalan yakin bahwasanya, Pembegalan di awali dengan berkumpulnya anak-anak muda labil yang sedang mencari jati diri. kumpulan itu akan menjadi parasit jika tidak ada anak muda yang berpikiran dewasa, yang menjadi sosok kepala yang bisa di ekori. Jika tidak ada anak muda yang seperti ini, maka akan terjadi persaingan rahasia diantara anggota perkumpulan untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang kepala suku.
Dalam usahanya itu, mereka berpikiran pendek untuk memilih melakukan tindakan tidak biasa yang mengundang perhatian orang banyak. anak muda labil berpikir, jika ia melakukan kriminal maka ia akan terlihat keren, kuat dan layak di depan teman-temannya yang juga labil. Dan Narkoba lagilah yang mereka anggap cara tercepat untuk bisa keren. Maka sekali lagi mesti harus ada tembok cina bahkan tembok yang lebih besar diantara remaja dan narkoba.

3.       Perilaku imitation

Manusia tidak bisa di pungkiri adalah homo mimise yakni manusia peniru. Remaja dalam hal ini adalah peniru yang  paling ulung. Kegiatan meniru itu di awali oleh rasa ingin tahu yang besar dan minat untuk mencobanya sangat tinggi. Dan lingkungan sekitarnya adalah objek ideal untuk di tiru. Karena ketika anak muda membuka mata maka objek yang pertama di lihatnya adalah lingkungan sekitar. Maka untuk mencegah remaja melakukan begal maka ia harus menutup atau di tutup matanya. Matanya siapakah yang di tutup. Matanya “Rupa Tau” lalu membuka matanya “ Tau “ selebar mungkin dan sejernih mungkin. Lingkungan sekitar pun harus di “estetikakan dan di etikakan” agar jika di tiru membawa kedamaian dan keindahan.

4.       Ketidak nyamanan

“Rumahku surgaku” itulah istilah jika rumah adalah tempat yang paling nyaman dan aman. Namun bagi remaja yang melakukan begal menganggap “ rumahku nerakaku” atau “rumahku penjaraku”. Remaja jika sudah tak nyaman lagi dengan rumahnya tempat ia bernaung maka ia akan mencari kenyamanan di luar rumah. Saat inilah remaja cenderung bisa terjerumus.
Kenyamanan di dalam rumah bisa raup. Jika terjadi benturan pemahaman antara anggota keluarga yang membuatnya tidak sejalan hingga ia mencari orang-orang yang sepakat dengannya di luar rumah.
Ketidaknyamanan ini juga bisa timbul dari cara didik orang tua yang tidak sesuai dengan cara berpikir seorang anak. Jika tidak terjadi titik temu maka akan terjadi benturan di sana.

5.       Kekurangan ruang

Di lihat secara fenomenanya. Remaja punya kekuatan jelajah yang tinggi dan luas. Namun dalam kenyataannya ruang yang di tawarkan  kepada remaja kurang dan tidak menarik. Contoh kasusnya adalah balap liar. Balap liar bisa di lakukan karena anak muda suka dengan kecepatan. Sedangkan ruang untuk kecepatan tidak ada atau kurang. Sehingga apa yang di depannya yakni jalan-jalan kosong yang beraspal halus dijadikan sebagai ruang.

 Mengatasi Begal.

Untuk mengatasi begal. Para prabegalers dan pasca begalers harus menyadari dan kembali ke substansi dirinya. Mereka tentu tidak tahu. makanya harus disadarkan. Siapakah yang menyadarakan. Tentu yang tahu. Yang tahu mendidik pada prakriminalitas secara serius. Dan bijak saat menyelasaikan pasca kriminalitas. Dalam takaran pasca ini . rasa humanitas harus diatas segalanya.

Sekali lagi Manusia harus kembali ke “Taunya” sampai kepada “Taunya Tau”. Anak muda harus menjadi “Makassar” yang “ Kassar” Kassar berarti yang Nampak. Anak muda harus “memakassarkan taunya” yakni menampakkan substansi kemanusiaannya. Perbuatan begal harus dibinasakan tetapi bukan pada pelakunya. Perbuatan begal itu “ Nabunoi Taunna” dia membunuh taunya. Maka tau yang telah dibunuh meski di hidupkan kembali. Maka mutlak sudah. Anak muda Makassar adalah bibit petarung bangsa harus di tanamkan sedalam-dalamnya dan sekuat-kuatnya dengan moral “SIPAKATAU”.

Facebook Komentar
0 Blogger Komentar


EmoticonEmoticon