Makassar dalam sejarahnya, adalah tanah pelaut
yang sabar dan ramah. Harga dirinya begitu tinggi. Hingga mengharamkan orang
lain dan dirinya untuk menyentuh kepala. Bagi orang Bugis Makassar, kepala
adalah nama lain dari harga diri.
Sebagaimana dalam sebuah wacana metafora filosofis
mengenai makna Tau yang substansi.
“Antu nikanayya tau akrupa-rupai. Niak tau, tau
tojeng, niak tau, poro tau.
Niak tau , akkanaji na tau”. (manusia itu bermacam-macam. Ada manusia,
benar-benar manusia. Ada manusia sekedar manusia. Ada manusia dikatakan manusia
karena ia dapat berbicara).
Metafora ini bisa dijelaskan secara harfiah, bahwasanya
manusia yang berkepala atau mempunyai kepala adalah manusia yang sebenarnya
manusia, manusia yang bermanusia. Sedangkan manusia yang bersetengah kepala
adalah “poro tau” hanya manusia. Dan manusia yang tak berkepala adalah
“akkanaji na tau”.
Pada saat ini. Makassar sedang di huni oleh
mayoritas manusia “poro tau” dan manusia yang “akkanaji na tau”. Bahkan saat
ini para daeng banyak sudah kehilangan kepala. Adalah sebuah pemandangan yang
horor melihat manusia-manusia Makassar berjalan tanpa kepala.
Apa yang menyebabkan “Tau tojeng” serasa hilang
dari panggung Losari. Dan hanya biduan-biduan “Poro Tau dan akkkanaji na tau”
yang berjoget hingga mabuk dan setelah mabuk Mereka melupakan “SipakaTau” dan
merubahnya menjadi “sipaka rupa tau”.
“Makassar Tidak aman” kampanye horor itu bergema
di setiap sudut kota daeng yang sedang ingin menjadi kota dunia. Kampanye yang
menghadirkan sebuah paradoks dimana Makassar sedang sibuk mengindahkan sebuah
benda tak bergerak tetapi lupa mengindahkan sebuah benda yang bergerak. Kita
sibuk membangun gedung pencakar langit sedangkan manusianya terus terpuruk
hingga “Tau”nya tenggelam pada “Rupa Tau”.
Begal. Saat ini menjadi kata populer yang di
perbincangkan oleh khalayak. Begal adalah perbuatan asusila yang menusuk “Rupa
Tau” dan “Tau” atau sebuah tindakan yang membanting moral dengan melukai “rupa
Tau” dan “tau”nya orang lain.
Pelaku begal dalam hal ini penulis golongkan
sebagai “akkanaji na Tau”. Atau pelaku begal adalah manusia yang sudah
kehilangan kepalanya sehingga tidak pantas lagi dikatakan sebagai manusia.
Meski ia (pelaku begal) ini melakukan perbuatan kriminalnya dengan alasan
mendapatkan kepala atau untuk membesarkan kepalanya.
Begal secara epitimologi, menurut KBBI begal di
artikan sebagai “penyamun”, membegal “ merampas di jalan”. Pembegalan
“proses,cara, yang menakuti masyarakat untuk jalan berpergian di malam hari”.
Dan dalam pandangan NU. Begal di golongkan sebagai
dosa besar dengan dasar al-Maidah ayat 33 dengan hukuman di bunuh, di salib,
potong tangan dan kaki secara bersilangan dan paling rendah adalah penjara.
Begal sudah ada sejak zaman generasi pencetus dan
peralihan. Seharusnya menjadi pembahasan yang sudah biasa. Namun begal menjadi
popoler lagi karena pelaku begal mayoritas adalah generasi penerus yang amatlah
mengiris hati. Anak muda yang masih berpantat biru memegang senjata dan
mengancam “rupa Tau” bahkan mereka tak segan melukai. Ini tentunya mengusik
“Taunya” kita karena mereka seharusnya menjadi “Tukang Bangunan” yang
merekontruksi bangunan peradaban.
Dalam pengamatan liar penulis, ada beberapa faktor
yang menyebabkan manusia yang berpantat biru ini melakukan pelacuran “ Tau”.
1.
Narkoba
Narkoba memang sudah menjadi musuh abadi umat
manusia. Di mana jika barang hina ini di konsumsi orang akan lupa “tau dan rupa
tau” bahkan “taunya tau” seakan dibunuhnya. Narkoba akan membuat pemakainya
menjadi berani untuk membunuh “rupa tau” dengan sangat sadis.
Remaja secara psikologinya adalah kurun waktu di
mana manusia ingin menunjukkan dirinya bahwa dia ada dan ingin di anggap ada.
dalam usahanya untuk meng ada kan dirinya. Sebagian remaja berpikir pendek
dengan melakukan sesuatu di luar kebiasaan yang melanggar norma.
Narkoba, barang hina dina itu jika di pertemukan
dengan remaja yang “Taunya” rapuh maka ia akan menjadi “HULK” tokoh fiksi
penghancur yang tidak bisa membedakan yang baik dan buruk lagi. Maka haruslah
di bangun “tembok Cina” diantara anak muda dan Narkoba untuk mencegah
terjadinya perbuatan Kriminal.
2.
Remaja yang masih labil
Pada kaca mata penulis yang masih tergolong remaja
yang punya empiris mengenai pembegalan yakin bahwasanya, Pembegalan di awali
dengan berkumpulnya anak-anak muda labil yang sedang mencari jati diri.
kumpulan itu akan menjadi parasit jika tidak ada anak muda yang berpikiran
dewasa, yang menjadi sosok kepala yang bisa di ekori. Jika tidak ada anak muda
yang seperti ini, maka akan terjadi persaingan rahasia diantara anggota
perkumpulan untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang kepala suku.
Dalam usahanya itu, mereka berpikiran pendek untuk
memilih melakukan tindakan tidak biasa yang mengundang perhatian orang banyak.
anak muda labil berpikir, jika ia melakukan kriminal maka ia akan terlihat
keren, kuat dan layak di depan teman-temannya yang juga labil. Dan Narkoba
lagilah yang mereka anggap cara tercepat untuk bisa keren. Maka sekali lagi
mesti harus ada tembok cina bahkan tembok yang lebih besar diantara remaja dan
narkoba.
3.
Perilaku imitation
Manusia tidak bisa di pungkiri adalah homo mimise
yakni manusia peniru. Remaja dalam hal ini adalah peniru yang paling ulung. Kegiatan meniru itu di awali
oleh rasa ingin tahu yang besar dan minat untuk mencobanya sangat tinggi. Dan
lingkungan sekitarnya adalah objek ideal untuk di tiru. Karena ketika anak muda
membuka mata maka objek yang pertama di lihatnya adalah lingkungan sekitar. Maka
untuk mencegah remaja melakukan begal maka ia harus menutup atau di tutup
matanya. Matanya siapakah yang di tutup. Matanya “Rupa Tau” lalu membuka
matanya “ Tau “ selebar mungkin dan sejernih mungkin. Lingkungan sekitar pun
harus di “estetikakan dan di etikakan” agar jika di tiru membawa kedamaian dan
keindahan.
4.
Ketidak nyamanan
“Rumahku
surgaku” itulah istilah jika rumah adalah tempat yang paling nyaman dan aman.
Namun bagi remaja yang melakukan begal menganggap “ rumahku nerakaku” atau
“rumahku penjaraku”. Remaja jika sudah tak nyaman lagi dengan rumahnya tempat
ia bernaung maka ia akan mencari kenyamanan di luar rumah. Saat inilah remaja
cenderung bisa terjerumus.
Kenyamanan di
dalam rumah bisa raup. Jika terjadi benturan pemahaman antara anggota keluarga
yang membuatnya tidak sejalan hingga ia mencari orang-orang yang sepakat
dengannya di luar rumah.
Ketidaknyamanan
ini juga bisa timbul dari cara didik orang tua yang tidak sesuai dengan cara
berpikir seorang anak. Jika tidak terjadi titik temu maka akan terjadi benturan
di sana.
5.
Kekurangan ruang
Di lihat secara
fenomenanya. Remaja punya kekuatan jelajah yang tinggi dan luas. Namun dalam
kenyataannya ruang yang di tawarkan kepada remaja kurang dan tidak menarik. Contoh
kasusnya adalah balap liar. Balap liar bisa di lakukan karena anak muda suka
dengan kecepatan. Sedangkan ruang untuk kecepatan tidak ada atau kurang. Sehingga
apa yang di depannya yakni jalan-jalan kosong yang beraspal halus dijadikan
sebagai ruang.
Mengatasi Begal.
Untuk mengatasi
begal. Para prabegalers dan pasca begalers harus menyadari dan kembali ke
substansi dirinya. Mereka tentu tidak tahu. makanya harus disadarkan. Siapakah yang
menyadarakan. Tentu yang tahu. Yang tahu mendidik pada prakriminalitas secara
serius. Dan bijak saat menyelasaikan pasca kriminalitas. Dalam takaran pasca
ini . rasa humanitas harus diatas segalanya.
Sekali lagi
Manusia harus kembali ke “Taunya” sampai kepada “Taunya Tau”. Anak muda harus
menjadi “Makassar” yang “ Kassar” Kassar berarti yang Nampak. Anak muda harus “memakassarkan
taunya” yakni menampakkan substansi kemanusiaannya. Perbuatan begal harus
dibinasakan tetapi bukan pada pelakunya. Perbuatan begal itu “ Nabunoi Taunna”
dia membunuh taunya. Maka tau yang telah dibunuh meski di hidupkan kembali. Maka
mutlak sudah. Anak muda Makassar adalah bibit petarung bangsa harus di tanamkan
sedalam-dalamnya dan sekuat-kuatnya dengan moral “SIPAKATAU”.