Si Buta
dari Gua Plato
M’R
Kalian pasti pernah mendengar akan mitos gua milik
plato. Namun tanpa kesombongan aku berani bertaruh bahwa “si buta dari gua
plato” lebih membumi dan lebih mempesona. Maka penulis menawarkan untuk membaca
karya ini dengan imajinasi yang fokus. Silahkan.
si buta sedang memandang kebenaran |
Seorang buta memandangi setitik cahaya diujung
dinding-dinding terjal. Cahaya itu berpancar lurus kearahnya. Membuatnya
bertanya. Apakah cahaya itu?. Seumur hidupnya dia buta akan apa yang ada selain
disekelilingnya yang gelap. Bersama warga lain sebutanya. Dia seumur hidup
bergerak dalam kegelapan gua. Belakangan ini naluri dialektika menggoda dirinya
ingin menuju pada tempat cahaya itu berujung. Namun rasa takutnya tak kalah
mengganggu dirinya. Yang dia tahu bahwa selama kehidupannya yang gelap didalam
gua ini telah membuat hidupnya berada pada garis aman dan kenyamanan. Dia
bertarung dengan dirinya. Mencoba untuk mengambil kesimpulan tetap berdiri ditempat yang aman ini atau mencoba untuk out
of the box menantang resiko.
Lama dia berpikir tak ada satupun kesimpulan yang
berhasil ditariknya. Satu sisi membuatnya nyaman disatu sisi menggodanya untuk
mencari tahu. Namun tetap saja dia tak bisa memilih salah satunya.
Setiap cahaya itu hilang dari ujung celah kecil
gua itu membuat tanya yang bergerak di urat-urat otaknya menggebu. Apa yang
membuat cahaya itu hilang?. Begitupun juga ketika cahaya itu kembali muncul
dicelah kecil gua yang sangat gelap itu. Otaknya kembali berdialektika. Apa
yang membuat cahaya itu kembali muncul.?. tanya yang ada dalam dirinya
mengalami klimaks saat sesosok terbentuk dari cahaya itu. Sesosok bayangan
terbentuk didinding gua yang dituju oleh cahaya itu. Bayangan itu
dikira-kiranya. Disentuhnya tapi tak ada bentuk yang dirasanya. Hampa dan tidak
memuaskan tanyanya yang menggeliat. Dia sangat kecewa saat bentuk bayangan itu
menghilang. Meninggalkan secercah cahaya yang lurus mengarah padanya.
Lama lagi ia kembali berpikir. Apa yang harus
dipilihnya. Haruskah ia terus terpaku pada kegelapan yang menyamankannya. Atau
menuju pada secercah cahaya yang tidak memberikan kepastian. Dia lalu berucap
pada teman- teman sehidupnya didalam gua. Yang sedang duduk membelakangi
cahaya.
“wahai teman-teman sekalian aku harus menuju pada
cahaya itu.?” Ucapnya sambil menunjuk kearah cahaya itu?
“apa kau ingin membunuh dirimu.? Pergilah kau jika
kau memang sudah tak sayang lagi dengan dirimu. Mengapa kau ingin menuju pada
cahaya itu padahal tempatmu sekarang ini memberimu kenyamanan dan keamanan?”
ucap mereka bergantian mengeroyok niat aneh dari kawannya.
“ tidak, walaupun cahaya itu akan membunuh diriku.
Aku lebih baik mati dari pada harus tersiksa oleh rasa tanya yang menggigit
nuraniku?” ucapnya dengan pasti.
Saat itu pula dia membuktikan pada teman
sehidupnya didalam gua itu. Dengan tangan kosongnya dia memanjat. Memegangi
bebatauan yang sangat licin dan juga tak terlihat. Gua itu sangat gelap hanya
ada setitik cahaya yang bisa masuk kedalam gua itu. Dan cahaya itulah yang
ingin ditaklukan olehnya. Namuan karena bebatuan yang licin dtambah pengalaman
yang nihil dalam memanjat tebing akhirnya membuatnya terjatuh pada bebatuan
yang keras dibawahnya. Dia berteriak kesakitan. Ada rasa perih yang dirasakan
ditelapak kakinya. dia kembali mencobanya namun sekali lagi bebatuan yang
terjal membuatnya terjatuh lagi. Rasa perih yang dirasakannya semakin sakit.
Tapi sekali lagi dia mencoba namun terjatuh lagi. Dia mencoba dan terjatuh
lagi, dia mencoba lagi, lagi, lagi dan lagi namun terjatuh lagi, lagi,
lagi dan lagi. Dia berteriak dengan
keras karena rasa sakit yang semakin parah. Lalu salah seorang temannya berucap kepadanya.
“lebih baik kau hentikan saja semua itu. tak ada
gunanya kau memanjat. Tidak ada apa-apa dibalik cahaya itu. Kehidupan itu hanya
ada digua ini?”
Ucapan itu membuatnya pesimis. Namun keterlanjuran
dirinya mengambil keputusan membuatnya bangkit dari pesimistis. Dia kembali
mencobanya namun terjatuh lagi. Seharian dia terus mencoba hingga cahaya itu
redup oleh malam. Membuat dirinya berhenti mencoba. Namun tidak berhenti secara
mutlak. Dia berjanji pada dirinya untuk mencobanya lagi saat cahaya itu kembali
muncul. Didalam pikirannya dia menebak ada apa dibalik cahaya itu?. Siapa
bayangan yang terbentuk dari cahaya itu.? Semalaman dia berpikir hingga cahaya
itu kembali bersinar melewati celah gua.
Sekali lagi dia memanjat namun terjatuh lagi. Dia
mencobanya lagi namun terjatuh lagi. Hampir tiga puluh kali cahaya itu hilang
dan muncul. Dia belum juga berhasil. Batu pijakan yang licin dan dinding yang
begitu terjal benar-benar menyulitkannya. Saat itu dia mulai berpikir untuk
berhenti mencobanya. Dan bisikan dari sekitarnya untuk menghentikan kelakuan
anehnya sudah mematahkan semangatnya. Sehari itu dia vakum dari pemanjatan
tebing. Keesokan harinya cahaya itu muncul lagi. Dia bermaksud ingin mencobanya
lagi namun semangatnya sudah patah. Dia terduduk dan membelakangi cahaya itu.
Memandangi tembok datar yang dipancari oleh cahaya itu. Tiba tiba dari tembok
itu bayangan yang pernah dilihatnya kembali muncul kali ini sangat jelas. Dia
masih saja duduk dan berpikir bahwa apa yang dilihatnya itulah yang sebenarnya.
Apa yang ada disekelilingnya itulah kehidupan. Tidak ada sesuatu dibalik cahaya
itu. Namun sesuatu terdengar dari cahaya itu. Suara yang sangat keras dan
membuat seisi gua itu terheran-heran. Dia yang dianggap aneh lalu berdiri dari
duduk pesimisnya. dia dibuat terhentak oleh suara yang baru saja didengarnya.
Dia begitu yakin bahwa bentuk yang sebenarnya dari bayangan yang dilihatnya
dari tembok gua itulah yang menyebabkan suara keras itu. Dia lalu menelan semua
persepsi awalnya lalu menuju pada persepi positif. Bahwa benar ada sesuatu
dibalik cahaya itu. Dia berdiri lalu kembali memanjat tebing dengan semangat
yang lebih membakar dari yang sebelumnya. Kali ini dia membulatkan tekadnya
untuk tidak berhenti sebelum berhasil.
Namun ia mesti harus bersabar lagi. Dia kembali
terjatuh. Dan rasa sakit yang dirasakannya sudah sangat menyiksa. Bukan hanya
fisiknya yang tersiksa. Mental dirinya juga ikut merasakan sakit setelah teman
sehidupnya didalam gua sudah menjauhinya dan mendiagnosanya sebagai seorang
yang sudah gila.
Dia merasakan kelabilan. Dirinya dan dirinya yang lain bertempur dengan dirinya. Dirinya yang lain
mengatakan untuk berhenti saja. dirinya yang lain mengatakan untuk terus
mencoba. Dan dirinya yang lain merasakan kebingungan untuk mendengarkan yang mana. Dia sangat tersiksa
secara fisik dan batin, namun dalam keadaan tersiksa itu dia terus mencoba
untuk memanjat. Terakhir kali dia sudah hampir menyentuh tempat cahaya itu memancar namun dia kembali
terjatuh. Dan sakit akibat terjatuh itu semakin memuncak. Karena semakin tinggi
ia memanjat semakin parah rasa sakit yang dirasakannya. Sambil menahan rasa
sakitnya dia kembali mencoba.
Dan dia berhasil. Kali ini dia berhasil menyentuh
tempat cahaya itu memasuki gua. Sambil bergelantungan dia mengeluarkan
tangannya melewati celah seukuran kepalanya. Dia merasakan angin berhembus
lembut menyapa tangannya. Nyaman yang lebih nyaman dari selama ini yang pertama
kali dirasakannya. Dia kembali memasukkan tangannya lalu memegangi dinding
gua kuat kuat. Kali ini dia berusaha
membuat kepalanya dapat melewati celah kecil itu. Dia ingin mengetahui apa yang
ada dibalik lubang cahaya itu. Pelan- pelan dia mengeluarkan kepalanya.
Tangannya berpegangan kuat pada pegangan yang dapat dipegangnya. Dia amat takut
mengalami kegagalan pada keberhasilan yang sudah didepan mata. Setengah
kepalanya sudah meyembul keluar dari lubang itu. Kini mata yang dia pakai untuk
melihat dan semua kepalanya hingga leher berhasil menyembul keluar dari lubang
cahaya itu. Matanya masih tertutup dan pelan pelan dia membukanya. Saat mata
itu terbuka semua cahaya menyambutnya. Hingga mata miliknya menyipit karena merasakan
kesilauan yang luar biasa. Namun rabun-rabun muncullah berbagai warna dilihatnya. Hijau, biru dan putih
warna itu jelas sudah terlihat. Hijau adalah warna pepohonan yang mendominasi
penglihatannya. Biru adalah warna laut. Dan putih adalah warna awan. Namun apa
itu pohon?. Apa itu laut?. Dan apa itu awan?. Jelas belum diketahuinya.
Wajahnya yang dipenuhi bulu. Kotor dan tidak terawat menunjukan senyuman yang
luar bisa menyenangkan. Apa yang selama ini diimpikannya telah tercapai. Tiba-
tiba seekor burung elang bersuara keras. Dan dia berkata.
“ ternyata itulah bayangan yang pernah kulihat
dari tembok gua.?” Lalu dia tersenyum tapi beberapa detik kemudian wajahnya
murung. Dia sadar bahwa kehidupan yang sebenarnya ada dibalik gua ini. Namuan
dia sadar bahwa dia masih terperangkap didalam gua. Dan dengan celah kecil ini
dia tak mungkin keluar dari dalam gua. Meskipun kepalanya sudah bisa
dikeluarkannya. Namun kepuasan belum dirasakannya. Dia ingin membawa seluruh
tubuhnya keluar dari dalam gua. Dengan setengah tersenyum juga setengah kecewa
dia menurunkan kepalanya. Lalu turun dari tebing gua. Didaratan gua itu dia
lalu berteriak.
“teman-temanku sekalian aku telah berhasil meraih
cahaya itu. Dan tempat yang begitu luas ada dibalik cahaya itu. Dan teman-teman
sekalian disanalah tempat kita. Dan marilah kita sama-sama saling membantu
untuk bisa keluar dari dalam gua ini.”
Tiga kali dia mengulang perkataanya. Namun tak ada
jawaban. Ada satu jawaban namun jawaban itu sangat mengecewakannya.
“pergilah kau sendiri wahai orang gila. Kami sudah
sangat nyaman ditempat ini. Jika kau ingin mati. Kau jangan mengajak kami.
Dasar gila.”
Dia lalu berpikir keras bagaimana caranya untuk
bisa mengeluarkan dirinya dari dalam gua itu. Tanpa bantuan teman-temannya dia
akan sangat kesulitan. Namun godaan keindahan dari yang baru saja disaksikannya
membuatnya mengambil cara yang sangat sederhana namun butuh waktu yang sangat
panjang untuk meraih keberhasilan. Batu memukul batu. Pasti akan ada yang
pecah. Itulah yang akan dilakukannya. Memukul ujung batu dari celah kecil itu agar
semakin membesar biar tubuhnya dapat mendapatkan ruang untuk keluar dari dalam
gua itu.
Dengan hanya bermodalkan batuan yang sebesar
tinjunya dan batuan yang dipukulnya setebal dua jengkal. Celah itu hanya
terkikis 5cm dan itu membutuhkan setahun lamanya. Setiap waktu dia begitu
disiplin memanjat dan memukul tebing. Namun karena keributan yang dibuatnya
saat memukul tebing dia mendapatkan protes dari warga gua sekitarnya. Namun dia
tidak berhenti memukul tebing. Semakin keras dia memukul tebing. semakin keras pula protes
yang menghampirinya. Namun ia
kembali memukul tebing. Dan protes dari warga sekitar kini berubah dengan
pukulan yang mendarat diwajahnya saat ia turun dari tebing. Wajahnya babak
belur oleh pukulan dari orang sekitarnya. Namun keindahan dari balik cahaya itu
sudah membuatnya lupa dengan sekitarnya menyembuhkan rasa sakit dari pukulan
mereka. Dia kembali memukul tebing itu. Dan suara keras saat batu itu
bersentuhan kembali membuat
warga sekitar mendatanginya. Kali ini bukan pukulan yang mendarat di wajahya.
Saat masih berada diatas tebing dia dilempari batu. Ada puluhan batu yang
berhasil mengenainya. Satu buah batu mengenai kepalanya hingga mengucurkan darah
yang cukup banyak. karena darah yang mengucur terlalu banyak ia kehilangan
kesadaran dan terjatuh dari atas tebing. Untung saja kepalanya tak mendarat
dibebatuan keras tapi pada seonggok pasir berhasil menyelamatkan hidupnya.
Dia kehilangan kesadaran dan dianggap sudah mati
oleh warga sekitar. Namun dia belum mati. Dia hanya tak sadarkan diri. dari
balik kesadaran diri yang belum didapatnya dia bermimpi. Memimpikan sesuatu
yang belum pernah diimpikannya sebelum ini. Dia berlari di rumput savana
bersama kelompok zebra. Dia berenang dilautan yang luas bersama lumba-lumba.
Dan dia dibawa terbang oleh ribuan elang.
Lama ia
menikmati mimpinya hingga ia tersadar setelah tiga hari tiga malam. Dia
merasakan kepalanya yang begitu berat untuk diangkat. Rabun-rabun dia melihat
celah cahaya itu sudah semakin lebar. Dia merasakan bahwa apa yang dilakukannya
tidaklah sia-sia. Ada hasil yang didapatkannya. Namun ancaman dari warga sekitar membuatnya terhalang.
Kali ini dia mendapat rintangan dari sejenisnya yang sudah menganggapnya
sebagai pengganggu.
Tidak, tidak ada kata untuk berhenti. Kalaupun dia
harus mati. Dia ingin mati pada jalan yang sudah dipilihnya. Haram baginya
untuk mati pada jalan yang bukan jalannya. Tapi dia sadar pula jika ia mati
sebelum menikmati keindahan dari balik cahaya itu maka matinya juga akan
sia-sia. Dia harus berpikir lagi. Bagaimana caranya bisa keluar tanpa harus
mengancam dirinya.
Lalu dia sadar. Gua ini beruang maka dimanapaun ia
menggagali itu akan membawanya keluar dari gua. Dan dia memilih menggali dari
tempat dimana sesorangpun tak bisa mendengar suara galiannya. Tapi itu tak
berhasil karena dimanapun dia mencobanya suara yang bergema berhasil didengar
oleh semua yang mendengar dari dalam gua ini. Dia kembali berpikir lagi namun
pikirannya buntuh. Tidak ada cara lain lagi kecuali melanjutkan usaha yang
sudah setengah jalan. Tapi kali ini dia mendatangi warga yang memusuhinya. Dia
sadar kalau warga akan mengoceh kepadanya dan tidak meutup kemungkinan mereka
akan membunuhnya.
“ternyata kau masih hidup wahai orang gila?” ucap
salah seorang warga.
“maafkan aku karena telah mengganggu kalian. Tapi
aku harus keluar dari tempat ini.”
“ kau memang sudah gila. Dan jangan kegilaanmu
membuat kami juga ikut gila karena usaha gilamu itu.?”
“aku ingin membuat perjanjian dengan kalian”
“perjanjian apa?”
“aku akan memukul tebing itu lagi. Dan saya
meminta kelonggaran dari kalian?”
“jika kau mencoba memukul tebing itu lagi maka kau
akan kami bunuh”
“aku harus memukulnya. Tapi kali ini aku hanya
akan memukulnya sebanyak 17 kali sehari semalam. 2 sebelum cahaya itu muncul. 4
disaat cahaya itu sangat terang. 4 disaat cahaya itu mulai meredup. 3 saat
cahaya itu akan menghilang dan 4 disaat cahaya itu sudah menghilang.”
Para warga itu berpikir sejenak. Dan kemudian
berkata.
“tidak kami tidak akan memberimu kesempatan. Jika
kau berani mencoba untuk memukul tebing itu. Maka kami tak akan segan-segan
membunuhmu”
Dia tidak takut
mati. Dia hanya takut mati sebelum merasakan keindahan yang di impikannya. Dia
mengambil kesimpulan. Kalaupun aku harus mati. Biarlah aku mati tanpa mencapai
keindahan itu. Walaupun mereka memaksaku untuk memikul matahari ditangan
kananku dan bulan ditangan kiriku aku tidak akan pernah berhenti untuk
berusaha. Kalau pun aku harus mati tanpa meraih keindahan itu. Aku ikhlas mati
pada keadaan mencintai keindahan. Aku rela mati sebagi seorang pecinta
keindahan.
Dengan tekadnya
yang sudah membulat sempurna. Keras dan kokoh. Dia mengambil batu besar dan
memegangnya pada tangan kanannya. Lalu dia berjalan lambat menuju pinggir
tebing. Lalu dia disana dia berteriak sekencang-kencangnya.
“ aku rela mati
sebagai pecinta keindahan. Aku rela mati pada kehidupan yang sulit tapi pada
jalan yang benar dari pada harus hidup nyaman pada jalan yang sesat. Kukatakan
kepada kalian bahwa keindahan yang sebenarnya ada dibalik cahaya itu” dia
berucap dengan keras sangat keras. Hingga suara kerasnya itu bergema sangat
lama dan terpantul pada dinding gua. Warga sekitar yang mendengarnya menutup
telinganya karena suara itu sangatlah keras.
Suara itu masih
saja bergema. Dia dengan berbagai bekas luka dibadannya. Dan luka yang belum
kering dikepalanya. Mulai memanjat tebing. Tidak cukup susah dia memulainya.
Karena sudah terlalu sering dia menaklukkan tebing terjal itu. Tebing seukuran
90 derajat. Namun dipertengahan jalan. Suara yang jahat terdengar olehnya.
“bunuh dia. Dia
adalah manusia pendosa dan pengganggu. Mulutnya terlalu kotor untuk dibiarkan.
Lempar dia sampai mati” ucap seorang yang begitu marah.
“ yah lempar
dia. Pungut semua batu. Dan lemparkan kepadanya.” Ucap orang yang lain.
“yaaaaaah” ucap
mereka serentak.
Dia sadar bahwa
nyawanya terancam. Tapi dia tersenyum. Dia sadar kalaupun mereka tak mengikuti
perkataannya ada saatnya dimana orang yang datang belakangan akan sadar dengan
apa yang dikatakannya.
Puluhan batu sudah melayang kearahnya. Dan
semuanya berhasil mengenainya. Sebagaian besar mengaraha kepunggungya. Dia
tentu saja merasakan sakit yang luar biasa. Namun dia tersenyum saja kearah
cahaya yang didekatinya. Sebuah batu mengenai lagi kepalanya. Dia tersentak
kesakitan. Orang yang mengenainya tertawa lepas. Begitu dengan yang lain.
Mereka tertawa pada kebenaran yang dilemparinya. Dia terusa saja memanjat.
Nafasnya sudah tak teratur. Sangat berat dia bernafas. Namun ia berhasil
mendekati cahaya itu dan menyembulkan kepalanya dia celah yang sudah
dilebarkannya. Namun tak cukup lebar untuk meloloskan semua fisiknya. Walhasil dirinya
yang terperangkap didalam gua menjadi bulan bulanan warga. Menjadi tempat
mendarat bebatauan yang dilemparkan kearahnya. Makin kejam saja perlakuan warga
gua yang buta kepadanya.
“ wahai keindahan aku mencintaimu, namun aku hanya
bisa mencintaimu. Menjadi pecinta padamu akupun rela. Dan terima kasih kepadamu
karena kau telah memberikanku jalan yang seindah ini.” Dia berucap dengan
sangat berat dan terbatah-batah. Bisa jadi itulah ucapannya yang terakhir. Itu
pulalah terakhir kalinya dia memandangi hijau, biru dan putih dan mendengar
suara elang yang memekakkan telinga untuk yang terakhir kalinya.
Hampir sesore dia bertahan dari rasa sakit. warga
sekitar sudah menghentikan lemparannya. Karena yang dilempari sudah tak
bergerak lagi. Dia sudah terjatuh kembali kedalam gua. Kali ini dia tidak bisa
bertahan lagi. Dia telah mati. Tubuhnya terlihat membusuk dan dibiarkan begitu
saja. tidak ada yang mau mengurusi tubuhnya yang sudah penuh dengan darah.
Apakah ini akhir baginya.
Jawaban yang paling tepat adalah tidak. Bahkan dia
baru saja memulai kehidupan yang ideal baginya. Kehidupan yang diinginkannya.
Saudara sekalian. Ada banyak hikmah dan
personifikasi yang dapat diambil dari cerita ini. Tergantung dari siapa yang
mengkonsumsinya. terlihat penulis hanya menawarkan secangkir teh. Padahal
penulis menawarkan jus buah-buahan.