Rabu, 23 September 2015

Memaknai Idul Adha secara filosofis


Idul Adha, idul Qurban atau lebaran Haji.  Semuanya memiliki sebutan yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama, yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT. Idul Adha disebut juga sebagai hari raya Qurban. Karena umat muslim dianjurkan untuk berkurban setelah melaksanakan sholat idul Adha untuk mengingat kembali akan ketaatan seorang khalilullah Nabi Ibrahim  saat ingin menyembelih anaknya nabi Ismail. Idul Adha juga di sebut sebagai lebaran haji, karena perayaan Idul Adha bertepatan dengan wukufnya jamah haji di padang Arafah.
Jika kita tangkap secara filosofis idul Adha kita sebut juga sebagai hari raya berkurban diri. Diri manakah yang di maksud. Ialah diri kebinatangan yang menghalagi cinta yang ada di dalam diri kita. Sebagaimana ketika Allah menguji cinta kekasihnya dengan memerintahkannya untuk menyembelih Ismail anak kesayangannya. Ibrahim tentu saja berpikir keras mengenai perintah itu. Namun dia berkesimpulan cinta kepada Tuhan harus di atas segalanya. Maka menurut legenda ketika parang sudah hampir menyentuh leher Ismail. Allah menggantinya dengan seekor domba. Dan kemudian Domba itu dilambangkan sebagai sifat kebinatangan yang ada di dalam diri manusia.
Perhatikanlah. Ketika Ismail di jadikan alat untuk menguji ketauhidan seorang Ibrahim. Berjuta hikmah yang bisa di petik dari kisah itu. Mulai dari, ketaatan nabi Ibrahim kepada Tuhannya, keimanan seorang Ismail kepada Tuhannya. Ketiak ia percaya 100 % akan mimpi ayahandanya. Kasih sayang seorang ibu yang merelakan anaknya menjadi calon martir. Bahwa buah dari keimanan adalah kasih sayang Tuhan.
Namun hakikat dari idul Adha, adalah semata-mata Tauhid. Kita di anjurkan untuk menyembelih hewan kurban, semata-mata karena Tauhid. Para jamaah haji wukuf di Arafah yang bertepatan dengan Idul Adha juga karena ketauhidan dirinya kepada Allah Swt. Memilih diam di sana untuk bertauhid dan berhenti sejenak dari eksistensi yang melambangkan pula bahwa manusia akan berhenti sejenak (mati) dan melanjutkan ke eksistensi yang lainnya.
Kita berkurban juga bukan untuk menunjukkan diri bahwa kita mampu untuk berkurban. Tetapi sebaliknya semakin kita mampu untuk berkurban semakin kita merasa tidak berdaya di hadapan Tuhan. Semakin kita harus berserah diri di hadapan adi daya Tuhan.
Idul Adha, bukan hanya semata-mata hanya untuk Tuhan. Idul Adha juga mendidik manusia untuk memperbaiki hubungannya dengan manusia lainnya. Dengan berkurban kita mendekatkan kesenjangan yang terjadi di kehidupan sosial. Yang tidak mampu, kita berikan hewan kurban. Maka hewan kurban amalnya menuju Tuhan sedangkan dagingnya menuju pada manusia untuk mempererat tali silaturahim.
Idul Adha yang jika di maknai secara filosofis. Mestinya menjadikan manusia kembali berdialektika dan kembali menyelam kedalam dirinya. Bahwa dirinya itu terdiri dari cinta dan permusuhan. Idul Adha mendidik kita bahwa dengan menyembelih permusuhan (kebinatangan) maka akan membuat cinta kita menyebar kepada sesama dan kepada Tuhan.

Dengan Ini A-filsafat.blogspot.com mengucapkan selamat hari raya idul Adha. Semoga kita berhasil menyembelih kebinatangan kita dan menghidupkan cinta kita.

Facebook Komentar
2 Blogger Komentar

2 komentar

aku ingin bertanya?
bagaimana dengan mereka yang tahu akan hikmah itu. tpi masih saja melakukan hal-hal yang bersifat binatang? dan astu lagi bagaimana manusia yang tidak berkurban. jadi mereka tidak bisa atua tak berdaya untuk menghilangkannya, jd siapa yang bertanggung jawb klaw begitu.....? mohon jawab

yang tahu lalu masih saja bersifat binatang. maka rugilah ia. sedangkan manusia yang tidak mampu berkurban tetapi ingin mengurbankan sifat kebinatangannya. masih banyak terminal ibadah yang juga bisa menyembelih sifat kebinatangannya. tapi setidkanya kita belajar dari perigatan kurban itu.


EmoticonEmoticon