Idul Adha, idul
Qurban atau lebaran Haji. Semuanya memiliki
sebutan yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama, yakni mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Idul Adha disebut juga sebagai hari raya Qurban. Karena umat
muslim dianjurkan untuk berkurban setelah melaksanakan sholat idul Adha untuk
mengingat kembali akan ketaatan seorang khalilullah Nabi Ibrahim saat ingin menyembelih anaknya nabi Ismail.
Idul Adha juga di sebut sebagai lebaran haji, karena perayaan Idul Adha
bertepatan dengan wukufnya jamah haji di padang Arafah.
Jika kita
tangkap secara filosofis idul Adha kita sebut juga sebagai hari raya berkurban
diri. Diri manakah yang di maksud. Ialah diri kebinatangan yang menghalagi cinta
yang ada di dalam diri kita. Sebagaimana ketika Allah menguji cinta kekasihnya
dengan memerintahkannya untuk menyembelih Ismail anak kesayangannya. Ibrahim
tentu saja berpikir keras mengenai perintah itu. Namun dia berkesimpulan cinta
kepada Tuhan harus di atas segalanya. Maka menurut legenda ketika parang sudah
hampir menyentuh leher Ismail. Allah menggantinya dengan seekor domba. Dan kemudian
Domba itu dilambangkan sebagai sifat kebinatangan yang ada di dalam diri
manusia.
Perhatikanlah. Ketika
Ismail di jadikan alat untuk menguji ketauhidan seorang Ibrahim. Berjuta hikmah
yang bisa di petik dari kisah itu. Mulai dari, ketaatan nabi Ibrahim kepada
Tuhannya, keimanan seorang Ismail kepada Tuhannya. Ketiak ia percaya 100 % akan
mimpi ayahandanya. Kasih sayang seorang ibu yang merelakan anaknya menjadi
calon martir. Bahwa buah dari keimanan adalah kasih sayang Tuhan.
Namun hakikat
dari idul Adha, adalah semata-mata Tauhid. Kita di anjurkan untuk menyembelih
hewan kurban, semata-mata karena Tauhid. Para jamaah haji wukuf di Arafah yang
bertepatan dengan Idul Adha juga karena ketauhidan dirinya kepada Allah Swt. Memilih
diam di sana untuk bertauhid dan berhenti sejenak dari eksistensi yang
melambangkan pula bahwa manusia akan berhenti sejenak (mati) dan melanjutkan ke
eksistensi yang lainnya.
Kita berkurban
juga bukan untuk menunjukkan diri bahwa kita mampu untuk berkurban. Tetapi sebaliknya
semakin kita mampu untuk berkurban semakin kita merasa tidak berdaya di hadapan
Tuhan. Semakin kita harus berserah diri di hadapan adi daya Tuhan.
Idul Adha, bukan
hanya semata-mata hanya untuk Tuhan. Idul Adha juga mendidik manusia untuk
memperbaiki hubungannya dengan manusia lainnya. Dengan berkurban kita
mendekatkan kesenjangan yang terjadi di kehidupan sosial. Yang tidak mampu,
kita berikan hewan kurban. Maka hewan kurban amalnya menuju Tuhan sedangkan
dagingnya menuju pada manusia untuk mempererat tali silaturahim.
Idul Adha yang
jika di maknai secara filosofis. Mestinya menjadikan manusia kembali
berdialektika dan kembali menyelam kedalam dirinya. Bahwa dirinya itu terdiri
dari cinta dan permusuhan. Idul Adha mendidik kita bahwa dengan menyembelih
permusuhan (kebinatangan) maka akan membuat cinta kita menyebar kepada sesama dan
kepada Tuhan.
Dengan Ini
A-filsafat.blogspot.com mengucapkan selamat hari raya idul Adha. Semoga kita
berhasil menyembelih kebinatangan kita dan menghidupkan cinta kita.